Mohon tunggu...
Aryanda Putra
Aryanda Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jika Kesalahan dan Kebenaran bisa untuk didialogkan, kenapa harus mencari-cari Justifikasi untuk pembenaran sepihak. Association - A Stoic

Ab esse ad posse

Selanjutnya

Tutup

Politik

IRONI MUI PAYAKUMBUH; Majelis Ulama atau Para Wasit Politik?

22 Oktober 2024   14:30 Diperbarui: 23 Oktober 2024   14:06 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini, saya merasa agak risih dengan drama yang muncul di Payakumbuh---sebagai kota yang memegang erat falsafah 'adat basandi syara', syara' basandi kitabullah' banyak ulama hebat lahir dari tanah bertuah ini. Drama ini berkisar pada penolakan ceramah Ustad Abdul Somad (UAS) oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat. 

Tapi yang bikin agak membingungkan, penolakan ini bukan soal akidah atau fatwa menyimpang. Bukan pula karena UAS membawa aliran sesat. Alasannya? Politik praktis. Katanya, UAS dianggap mendukung salah satu pasangan calon (paslon) dalam Pilkada. MUI seolah-olah berfungsi sebagai wasit di lapangan politik, dan saya pun tidak bisa tidak bertanya: Apakah ini MUI atau lembaga pemilu yang baru? Hehehe...sejak kapan MUI jadi mirip Bawaslu? 

Mari kita perjelas: menurut klarifikasi panitia Tabligh Akbar yang sedang dipermasalahkan, UAS diundang untuk mengisi acara tabligh akbar sebagai penceramah, bukan juru kampanye. Tapi entah kenapa, tiba-tiba MUI seperti berubah jadi komisi pemilu dadakan, sibuk menyaring siapa yang boleh bicara di panggung dan siapa yang tidak.  MUI sepertinya lupa kalau mereka bukan lembaga yang berwenang untuk menangani soal-soal Pilkada. Kalau ada dugaan pelanggaran pemilu, itu kan tugas Bawaslu, bukan MUI. Tapi apa boleh buat, mungkin ini bagian dari tren baru: lembaga yang dulunya religius kini juga ingin mencicipi sedikit panggung politik. Hati-hati, MUI, jangan sampai malah jadi semacam Bawaslu gadungan. Jangan sampai anggota Bawaslu setempat kehilangan pekerjaannya. Kalau terus begini, mungkin kita semua harus bersiap untuk melihat lebih banyak organisasi yang tiba-tiba berganti peran. Siapa tahu, besok MUI mengurus pertandingan bola atau menetapkan aturan main monopoli. Merasa paling benar. Karena ya, sepertinya, semua bisa saja diatur. tergantung angin politik mana yang sedang bertiup. Mungkin saya yang tidak tahu bahwa MUI sudah berganti nama menjadi BAWASLU (Badan Pengawas Lintas Ulama) hehe....

Padahal tugas MUI itu kan menjaga umat, bukan memantau "dukungan terselubung" dalam Pilkada. Lembaga yang seharusnya menjembatani umat malah terjun ke arena politik, menciptakan friksi yang sebenarnya bisa dihindari.

Lucunya, setelah surat larangan keluar, MUI malah cepat-cepat melunak saat publik mulai berteriak. Ini seperti menepuk air di dulang, sendiri yang bikin keruh, sendiri yang panik saat cipratannya mengenai wajah. Kenapa tidak dari awal saja tabayun atau berdialog dengan panitia? Kan lebih elegan daripada terkesan plin-plan seperti ini.

Menolak, lalu tidak menolak. Ini ceramah atau liga sepak bola? Begitulah kira-kira kebingungan yang muncul ketika MUI Payakumbuh mengeluarkan surat pelarangan Ustadz Abdul Somad (UAS) lalu buru-buru meralatnya setelah mendapat reaksi publik. Ibarat wasit sepak bola sudah angkat bendera offside, lalu minta maaf karena tertekan oleh sorakan penonton. Sepertinya, mendukung paslon tertentu itu dosa besar, tapi ikut campur di balik bendera ulama itu sah-sah saja. Ironis, kan?Mungkin yang mereka lupa, ketegasan itu bukan cuma soal apa yang dikatakan, tapi konsistensi menjalankannya.

Pertanyaan besarnya, apakah penolakan ini karena alasan menjaga persatuan umat, atau justru MUI-lah yang membuat keruh dengan ikut-ikutan bermain politik dalam ranah politik praktis? Saya tidak mengatakan kalau MUI tidak boleh berpolitik atau ikut campur dalam ranah politik, itu sah² saja. Dan itu telah dilakukan oleh MUI Payakumbuh sendiri dengan melakukan penolakan terhafap UAS. Bagi saya ini adalah langkah politik MUI. tapi yang perlu di ingat politik MUI tentu berbeda dengan partai politik atau kelembagaan politik lainnya. MUI juga harus bisa menghitung langkah caturnya dengan baik, jangan sampai MUI terkena bumerang yang dilemparnya sendiri. Sehingga MUI disamakan dengan partai politik yang ikut mengurusi politik praktis yang notabene secara etika bertentangan dengan nilai etik dan moral yang dianut oleh lembaga keagamaan seperti MUI. Atau MUI dianggap melampaui kewenangannya. Bahwa kita sama-sama tahu di dunia politik praktis dewasa ini segala nya mungkin demi kepentingan, tidak ada batasan jelas mana sesuatu halal mana sesuatu yang haram untuk dilakukan. Adapun aturan pemilu tentang politik praktis hanya mengatur hal² yang hanya terlihat dipermukaan saja tapi tidak menjangkau bagian bawah permukaan. Sedangkan MUI punya standar nilai sebagai tolak ukur politiknya. Bagi saya disini lah letak perbedaannya antara poltik praktis dan poltik etis. Perbedaannya hanya setipis benang. Jika tidak dicermati maka MUI akan terjebak dengan ucapannya sendiri. Dan disini lah kontroversi nya apa yang dilakukan oleh MUI Payakumbuh.

Padahal, jelas-jelas seorang ulama sekalipun punya hak konstitusi. Mau ikut politik atau tidak, itu hak pribadi nya. Selama dia bukan kepala negara yang sedang cuti kampanye, apa salahnya? 

Kalau benar UAS mendukung seseorang, kenapa itu mendadak jadi masalah besar? Publik rasanya sudah cukup cerdas menentukan pilihan tanpa perlu babysitter moral. Lagi pula, sejak kapan tugas MUI berubah jadi mirip Bawaslu? Hehe

Kalau begini terus, jangan-jangan bukan hanya umat yang bakal terpecah, tapi wibawa MUI yang makin habis di mata publik. Apa perlu kita sarankan agar mereka ikut workshop komunikasi publik dulu biar nggak plin-plan? Atau mungkin lebih baik MUI fokus ke perannya sebagai penjaga moral umat, bukan pemain cadangan di liga politik lokal.

Aryanda Putra
Aryanda Putra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun