I. Eksplorasi
Ada fenomena menarik baru-baru ini terjadi, dimana masyarakat Indonesia dihebohkaan dengan tren 'war ticket' konser Coldplay yang akan mencoba menjajaki panggung Indonesia pada bulan November nanti. Dunia maya dalam satu bulan ini dipenuhi dengan konten-konten kampanye Konser Coldplay. Masyarakat berlomba ingin mendapatkan ticket konser yang harga satu tiket paling murahnya seharga -melebihi- uang kiriman bulanan saya waktu jadi mahasiswa( Rp 800.000), dan harga tiket yang paling mahal hampir mencapai tunjangan/bulan para menteri nya Jokowi (Rp11.000.000). Waaaw...Saya sendiri tidak habis pikir kenapa dengan harga tiket yg semahal itu, justru membangkitkan gairah dan antusiasme masyarakat yang sangat berlebihan untuk mendapatkannya. Tercatat per-17 Mei 2023. Loket.com mencatat lebih dari 1.533.000 orang berpartisipasi memburu atau war tiket Coldplay tersebut. Jika para anak menteri atau para anak Sultan dan entitas sejenis lainnya menghadiri konser tersebut ini bukan sebuah hal yang aneh dan kita akan dengan sadar sangat memakluminya. Tapi dilapangan yg terjadi justru diluar kemakluman. Ada masyarakat dengan biaya hidup pas-pasan juga ikut menyemarakkan euforia tren ini. Mereka berani untuk melakukan pinjaman online sekian juta, jual motor, gadain mobil, dan semua ketidak wajaran lainnya. Yaaa...pembaca bisa cek dilingkungan sekitarnya, mana tau ada saudara,kerabat, teman yg diam² sudah ikut 'war tiket' atau yg diam² kena Tipu calo tiketnya, teman saya ada tuh satu. Pertanyaan nya, Apakah tren seperti ini salah? Atau ada yg salah dengan masyarakat kita? Dan apa yg menjadikannya larut dalam keinginan ini?
Jawabannya, tidak ada yang salah dengan tren yg sedang terjadi ditengah masyarakat, yang salah adalah konsekwensi buruk dari prilaku dalam menanggapi tren tersebut. Hal ini berkaitan dengan kebebasaan dan otonomi dari manusia itu sendiri. Kebebasan dan otonomi individu adalah dua konsep yang menjadi landasan dalam pemikiran filosofis. Kebebasan mengacu pada kemampuan individu untuk bertindak sesuai kehendak dan niatnya, sementara otonomi mengacu pada kemampuan individu untuk mengendalikan dan mengambil keputusan atas hidupnya sendiri. Dalam konteks modern yang semakin terhubung dan terpengaruh oleh teknologi, muncul fenomena yang dikenal sebagai FOMO atau "Fear of Missing Out" yang dapat mempengaruhi kebebasan dan otonomi individu. FOMO merujuk pada perasaan cemas dan kekhawatiran individu untuk melewatkan suatu pengalaman atau informasi yang sedang terjadi di lingkungan sosialnya. FOMO juga dimaknai dengan rasa takut yang dirasakan individu ketika mereka merasa terlewatkan dari pengalaman yang dianggap penting atau menarik. Dalam tulisan ini, akan dieksplorasi pertimbangan tentang kebebasan dan otonomi individu dalam konteks FOMO, serta pandangan filsafat yang melihat semua itu.
Dalam kasus Konser Coldplay, FOMO dapat mempengaruhi pertimbangan mengenai kebebasan dan otonomi individu dalam memilih apakah ingin menghadiri konser tersebut. Saya coba memberikan pendapat dengan melihat pertimbangan-pertimbangan ini dari perspektif filsafat, dan mengambil kesimpulan yang relevan.
II. Konteks FOMO dan Konser Coldplay
Sebelum kita membahas pertimbangan-pertimbangan filosofis yang terlibat, penting untuk memahami konteks FOMO dalam kasus Konser Coldplay. Coldplay adalah band terkenal dengan basis penggemar yang besar di seluruh dunia. Konser mereka seringkali menjadi acara yang sangat dinantikan oleh penggemar setia mereka. Namun, tiket untuk konser-konser mereka seringkali terbatas dan cepat terjual habis. Ini menciptakan keadaan di mana individu-individu merasa takut kehilangan pengalaman konser yang dianggap unik dan istimewa, faktor ini lah yg menjadikan individu saling berlomba dan berebut untuk mendapatkan tiket tersebut. FOMO dapat mempengaruhi keputusan individu tentang menghadiri konser, terlepas dari faktor-faktor seperti biaya tiket, ketersediaan waktu, atau keterbatasan fisik.
III. Analisis tentang Bagaimana Filsafat Melihat Fenomena Berebut Tiket Konser
Dalam perspektif etika, berebut tiket konser dapat dilihat sebagai bentuk persaingan yang menguji moralitas individu dan masyarakat. Salah satu argumen filosofis yang muncul adalah bahwa berebut tiket konser mengungkapkan aspek manusia yang egois dan kekurangan kesadaran sosial. Dalam konteks ini, dilema etis muncul dalam mempertimbangkan keadilan, distribusi sumber daya yang terbatas, dan perlakuan yang adil terhadap semua pihak yang berkepentingan.
Dalam buku yg berjudul "Justice: What's the Right Thing to Do?" oleh 'Michael J. Sandel' ia menyebutkan:"Berebut tiket konser secara dramatis mengungkapkan pertanyaan etika yang mendalam. Apakah kita memprioritaskan kepentingan individu yang mampu membayar harga tinggi atau kepentingan kolektif yang ingin menikmati konser secara adil? Pertanyaan ini menggugah pemikiran tentang keadilan dan moralitas dalam aksi."
Dalam pandangan lain, 'Terry Eagleton' dalam tulisannya yang berjudul: "The Meaning of Life" menilai fenomena ini sebagai refleksi dari keinginan manusia untuk mencari makna dan pengalaman yang luar biasa, ia menyoroti pentingnya pengalaman estetika dalam kehidupan manusia. Konser sebagai bentuk seni dapat memberikan pengalaman yang mendalam dan memperkaya makna hidup kita.