Let me tell you my story. Beberapa bulan lalu, aku selalu menunggu rapat rutin. Enggak biasanya aku suka berorganisasi, tapi kali ini suasananya beda. Aku suka suasana rapat yang selalu fun, ada aja yang bikin ketawa dan entah kenapa ideku untuk membuat jokes jadi lebih sering muncul. Mereka semua selalu ketawa dengan jokes-ku, mereka menghargaiku, meskipun aku memang merasa jokes-ku berkualitas. Hahaha, ya begitulah, yang terpenting, poin yang ingin aku sampaikan: aku suka.
Sayang, dua bulan lalu, aku merasa ada yang berbeda. Suasana rapat tidak lagi seperti dulu, aku merasa ada yang hilang. Seketika itu, aku sadar, aku telah jatuh cinta. Aneh, kayak lagunya Passenger gitu, kita baru tahu kalau jatuh cinta setelah merasa kehilangan. Dan aku kehilangan.
Iya, kehilangan kamu yang suka pakai jilbab warna kecoklatan. Kamu yang selalu pakai cincin pemberian almarhum ayahmu. Kamu yang selalu pakai parfum Bvlgari Rose, yang setelah kutanya ternyata cuman beli ceban di depan minimarket.
Kabarnya, kamu ikut rapat lain, jadi panitia di suatu event gitu. Awalnya aku merasa oke-oke aja, cuman merasa kehilangan aja. Tapi pas aku ngintip media sosial kamu, kok kamu bahagia sekali ya dengan teman-teman kepanitianmu. Sepertinya, mereka punya jokes yang lebih baik. Sepertinya, kelas sosial kepanitianmu lebih tinggi. Lama-kelamaan, aku merasa kepanitianmu itu lebih jadi prioritasmu.
Sebulan terakhir, aku muak dengan organisasiku. Membosankan. Bukan cuma karena kamu yang nggak ada. Tapi topik bahasannya sudah enggak lagi menarik. Apa serunya rapat ngebahas kenapa organisasi kita tidak lagi jadi prioritas, tanya mereka yang retas. Selain kamu, beberapa orang juga mulai memilih prioritas yang lain. Rapat sepi, diskusi mati.
Aku sebenarnya sudah malas ikut rapat, tapi apa alasanku? Aku benci deh, mereka-mereka yang ikut banyak sekali organisasi dan kepanitian tapi tidak bisa serve dengan baik ke semuanya. Iya, termasuk kamu. Aku benci sekaligus cinta sama kamu. Kenapa? Paradoks? Memang. Mending kayak aku ya kan, kalau memang enggak bisa bagi waktu untuk poli-organisasi, yaudah mono aja cukup. Gituloh, sebel aku.
Tapi kemarin, aku kaget ketika ada kawanku yang tidak ikut rapat dengan santainya bilang di chat grup, "Aku mau main game di kosan, males ikut rapat." Kemudian rame kan balesan yang sinis, chat grup jadi panas, tapi jawabannya setelah itu mengejutkanku, menginspirasiku. "Terserah kalian mau bilang apa, apapun yang kulakukan, itu pilihanku," katanya.
Tahu enggak sih, terinspirasiku di bagian mana? Atau jangan-jangan kutub berpikir kita tak bertemu?
Jadi, setelah itu aku langsung mendefinisi ulang kata prioritas. Apa itu? Siapa yang menentukan itu? Kapan itu ditentukan? Kenapa itu ditentukan?
Aku mendapatkan, prioritas selalu ditentukan oleh kita sendiri, menyesuaikan dengan tujuan kita.
Apa salahnya dia lebih memilih main game di kosan? Mungkin dia ada tujuan di game-nya dan dia sudah tidak memiliki tujuan di organisasi kami. Apa bedanya dengan orang yang lebih memilih ikut rapat lain? Kenapa main game jadi terlihat lebih salah?
Setelah itu, aku menyadari tujuanku bukan di organisasinya, tapi tujuanku adalah kamu.
Hari ini, aku berencana meninggalkan semua kegiatanku. Aku akan butuh seharian untuk persiapan menemuimu hingga mengungkapkan persaaanku. Doakan aku, prioritasku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H