Sering aku mendengar kata berikut: Untuk sebuah tanya bertemu dengan jawaban, yang dibutuhkan hanyalah waktu. Siapapun filsuf yang mengarang sebuah tulisan ciamik ini, pasti belum pernah berada di posisiku.
 Sekitar lima tahun yang lalu, aku jatuh cinta untuk kali kedua. Ah, jika diingat ulang, kacamata ber-frame merah miliknya sering kali terpantul di pupilku. Kadang aku mencuri pandangan itu, namun juga tak jarang berani merampok, membiarkan dia tahu aku mencurinya.
Di sebuah lorong depan kelas, kakinya melenggang menuju ke arahku. Aku berdiri sepuluh langkah darinya. Langkah kakinya kecil, rok panjang itu mencegahnya untuk melangkah lebar-lebar. Beberapa detik kemudian, mungkin adalah seketika terlama dalam hidupku. Ia tersenyum tanpa berani menatapku, menundukkan kepala yang ditutupi hijab, kemudian melewatiku.
Dalam seketika terlama itu, aku jatuh cinta. Tahukah kau kawan, seseorang yang jatuh cinta memiliki ribuan pertanyaan tentang orang yang dicintainya. Pertanyaan itu sebenarnya detail, tapi tak muncul di permukaan, kita tak mampu mengejanya satu-satu.
Kenapa dia tersenyum ketika bersebelahan denganku? Kenapa ia tak merespon ketika memergokiku mencuri pandangan? Siapa aku di matanya? Tahukah dia tentang perasaanku? Sejak kapan dia tahu? Bagaimana bisa? Pada momen apa? Siapa yang saat ini duduk di singgasana hatinya? Mungkinkah aku? Bolehkah aku?
Pertanyaan itu terus menghantuiku, menuntut untuk segera mencari jawabannya. Aku tidak bisa menerima tuntutan itu. Tiap kali berniat mencari, intuisiku langsung menerjang keluar, menghadaingku, seolah tidak tega melihatku menerima jawaban yang tak sesuai. Atas dasar persahabatan sejak dalam rahim, aku mematuhi intuisiku.
Waktu tidak lagi berada di pihak netral. Ia menjadi subyek yang menyerangku. Ia terus berjalan, tanpa menungguku. Memperlebar jarak antara tanya dengan jawabannya. Dan setelah ia berjalan cukup jauh, orang yang aku cintai tidak lagi pernah tersenyum mendengar namaku.
Bagaimana mungkin? Mungkinkah karena melihatku dengan wanita lain? Cemburukah ketika kawanku menyebarkan isu tentang aku dengan wanita lain? Atau adakah sikapku yang tidak menyenangkan hatinya? Bencikah ia dengan sikapku itu? Berubahkah cara pandangnya terhadapku? Atau semua itu hanya ilusi perasaanku saja, sebenarnya ia tidak pernah memikirkanku?
Aku ingin mengetahui semua itu. Jawaban-jawaban itu. Aku ingin menyelesaikan semua ini bersamanya. Namun, bagaimana bisa aku menyelesaikan hal yang bahkan belum pernah aku mulai?
Aku menyerah. Waktu mengkhianatiku. Waktu ingkar dengan konsep filsuf kondang itu. Karena sesungguhnya, yang dibutuhkan sebuah tanya untuk bertemu dengan jawabannya, adalah kamu. Kamu yang menjadi jiwa dari seluruh pertanyaan itu. Kamu adalah pertanyaan yang selamanya tak terjawab.
Lima tahun berlalu, dengan subyek kamu yang berbeda, aku kembali memiliki ribuan pertanyaan serupa. Haruskah seluruh pertanyaan itu kembali tak terjawab? Ataukah kuabaikan saja sang intuisi? Setidaknya aku memiliki jawaban, meskipun menyakitkan. Tapi memangnya, kenapa harus memulai sesuatu untuk segera diakhiri?
Aku ingin kisah kita tidak memiliki akhir. Biarkan aku mencintaimu dalam diam, entah sampai kapan, mungkin saja lima tahun lagi. Yang jelas, pertanyaan-pertanyaan itu akan tetap kubiarkan abadi, menginap di jaringan otakku, dengan sesekali menggelitik hatiku. Mereka kekal , tentunya juga kamu, roh dari semua pertanyaan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H