Mohon tunggu...
Arya Hasa K
Arya Hasa K Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Terus belajar adalah caraku mengungkapkan betapa aku rindu kalian | Disaat kamu tidak pernah merasa bahagia, Ingatlah masih ada orang yang bahagia hanya karena ada kamu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Siluet Kenyataan

27 Juli 2017   12:44 Diperbarui: 27 Juli 2017   13:10 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ingatanku tentang beliau tidaklah banyak, hanya baju hijaunya yang kuingat serta tongkat tofa yang selalu beliau bawa. Wajahnya pun tak dapat ku ingat, yang ada hanyalah tubuh beliau yang terpampang sinar matahari sehingga menjadi siluet. Semakin kucoba untuk mengingatnya, semakin buram pandanganku akan kenangan itu. Mungkin kenangan tidak bisa memberikan jawaban yang pasti, namun aku percaya esok hari akan kutemukan jawaban tersebut meskipun harus menempuh waktu yang sangat panjang.

Pagi ini tidak kudengar sama sekali bunyi gemericik air di sekitar rumahku bahkan aroma asap dengan aroma yang harum tidak kucium karena biasanya aku merasakan dua hal itu. Semenjak Ayah meninggalkan kami berdua, Ibuku membuka jasa cuci dan setrika baju di kampung kami. Meskipun pendapatan yang ibu dapatkan tidak banyak namun, ibu masih bisa membiayai anak semata wayangnya ini. Ku coba tuk memeriksa halaman belakang kami tempat biasa ibu bekerja namun, tak terlihat keberadaan ibu sedikitpun.

"Mungkin ibu sedang ke pasar." Gumamku dalam hati.

Ternyata dugaanku benar, ibu baru pulang dari pasar sambil membawa banyak sayur dan bahan-bahan kebutuhan sehari-hari. Aku pun membantu beliau untuk membawa barang-barang tersebut dan terheran-heran karena jumlah barang belanjaan ibu yang banyak.

"Ibu bagaimana bisa membeli sebanyak ini? Ibu dapat uang dari mana?" tanyaku pada ibu.

"Alhamdulillah nak, kemarin ibu dapat uang arisan jadi ibu beli banyak dan juga kan hari ini kamu ulang tahun." Jawab ibuku sambil tersenyum sambil memberikan sebuah kado.

"Makasih ya bu tapi, gimana dengan kerjaan ibu?" tanyaku kembali.

"Ini kan hari Minggu, sesekali ibu libur ngga apa-apa kan?" balas ibuku dengan kembali tersenyum.

"iya bu." Jawabku pada ibu sambil tersenyum.

Kemudian kami pun bergegas merapikan barang-barang yang dibeli oleh ibu. Ibu juga membelikan bakso untuk makan siang kami. Setelah semuanya telah rapi, kami berdua pun makan bersama di  ruang tengah. Sambil makan ibu menceritakan kembali mengenai sesosok Ayah yang selalu membuatku selalu penasaran saat ini. Ibu selalu bercerita bahwa saat aku balita, Ayah bekerja sebagai Hansip. 

Meskipun saat itu pendapatan Ayah sangat kecil namun keluarga kami tidak selalu merasa kekurangan. Bahkan ibu pun mengatakan bahwa Ayah sangat rajin beribadah ke masjid dan selalu mengikuti kegiatan Ta'lim di masjid. Kemudian raut wajah ibu berubah menjadi sedih dan seakan tak kuasa melanjutkan cerita itu. Dengan perlahan ibu menceritakan bahwa Ayah menjadi berubah 180 derajat semenjak Ayah sangat bersemangat untuk berbisnis dengan temannya.

 Air mata ibu mulai mengalir ketika ibu menceritakan bahwa Ayah dan Ibu sering bertengkar hingga akhirnya Ibu memutuskan pergi dari rumah sambil membawaku dan pindah ke rumah yang kami tempati saat ini. Aku yang mendengar cerita itu langsung memeluk ibu dan berusaha menenangkan beliau. Suasana haru pun pecah ketika datang tukang pos ke rumah kami. Ketika kami buka kiriman tersebut, ternyata kiriman tersebut berisi uang dan surat dari Ayah. Didalam surat itu terdapat ucapan selamat ulang tahun dari Ayah kepadaku dan juga tertulis bahwa Ayah sangat merindukan kami. Belum selesai kubaca, kertas itu pun dirobek oleh ibu. Ibu pun segera menuju tong sampah depan rumah sambil membawa minyak tanah. Lalu ibu membakar surat dan uang yang diberikan oleh Ayah. Entah bagaimana aku harus mengutarakan suasana yang terjadi hari ini.

Keesokan paginya ketika aku akan berangkat ke sekolah, aku melihat tong sampah yang kemarin digunakan Ibu untuk membakar kiriman dari Ayah. Kulihat bungkus yang berisi alamat Ayah belum terbakar. Dengan cepat aku mengambilnya dan bergegas ke sekolah sambil berharap Ibu tidak melihat apa yang aku lakukan. Ketika di sekolah aku benar-benar tidak bisa konsentrasi belajar karena terus memikirkan alamat Ayah. Hingga seorang temanku tahu akan alamat itu. Dia mengatakan untuk sampai ke sana aku harus menaiki angkutan umum sebanyak dua kali.

 Aku pun senang sekali karena temanku bersedia menemaniku dan aku juga merasa beruntung karena sekolahku pulang cepat. Sesampainya di rumah aku meminta izin kepada ibuku untuk menginap di rumah temanku karena ada tugas kelompok. Ibuku mengizinkannya karena beliau percaya padaku. Tak berapa lama temanku datang menjemputku dan kami langsung berpamitan pada Ibuku. Terbesit rasa salah di hatiku karena telah membohongi Ibuku namun, aku melakukan ini semua karena ingin mengetahui kebenaran mengenai Ayahku.

Kami pun melakukan perjalanan ke kampung Ayahku tinggal dengan memakan waktu 2 jam. Kami sampai di kampung tersebut menjelang maghrib. Kami pun memutuskan untuk sholat di masjid yang berada di kampung Ayahku. Setelah selesai menunaikan sholat maghrib kami pun bertanya kepada salah satu warga di kampung tersebut. 

Orang itu memberikan kami arah menuju rumah Ayahku namun orang itu juga mengatakan bahwa ketika maghrib seperti ini rumah Ayahku pasti kosong karena sedang bekerja. Aku pun kemudian meminta tolong pada orang itu untuk memberitahukan arah dimana tempat Ayahku bekerja. Kami pun segera menuju kesana dengan bermodalkan obor karena ternyata kampung yang dulu pernah aku dan Ibu tinggal masih minim listrik. Listrik pun ada hanya di masjid dan di beberapa rumah saja. 

Sesampainya disana aku pun kaget karena pemandangan yang aku lihat. Terlihat rumah dengan halaman luas namun masih minim lampu. Kulihat banyak sekali orang-orang sedang berkerumun. Tak kusangka tempat itu merupakan tempat sabung ayam(adu ayam), bahkan digabung dengan permainan-permainan judi. Aku pun tak bisa berkata-kata ketika ada seseorang memanggil temannya dengan nama Ayahku.

 Kulihat dia sedang bergerak sempoyongan sambil membawa botol minuman keras yang kuyakini orang itu adalah Ayahku. Setelah aku melihat hal tersebut, segera ku balikkan badan dan mengajak temanku pulang sambil berlinang air mata. Betapa sedih dan hancurnya hatiku melihat sesosok Ayah yang seperti itu. Aku baru menyadari alasan Ibu membakar uang tersebut karena itu merupakan uang haram yang berasal dari hasil sabung ayam dan judi. 

Aku pun pulang dengan tubuh yang sangat lemas hingga temanku memegangku agar aku tidak jatuh. Dari kejadian yang baru saja kualami, muncul sebuah tekad dihatiku bahwa ini yang pertama dan terakhir aku melihat Ayah dan akan kulupakan semua tentangnya. Mungkin ini terdengar kejam, namun ini adalah caraku agar aku dan ibuku dapat terus maju kedepan untuk menjalani hidup yang lebih baik.

-SEKIAN-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun