Mohon tunggu...
Arya Hasa K
Arya Hasa K Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Terus belajar adalah caraku mengungkapkan betapa aku rindu kalian | Disaat kamu tidak pernah merasa bahagia, Ingatlah masih ada orang yang bahagia hanya karena ada kamu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Sayang Kampungku

24 Juli 2017   10:24 Diperbarui: 24 Juli 2017   10:40 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kira-kira sudah setahun lebih aku tidak bisa pulang ke kampung halamanku karena jadwal kuliahku yang sangat padat. Kemudian aku juga mendengar kabar bahwa ada perbaikan jembatan yang menghubungkan kota utama dan kampung halamanku sehingga rencanaku yang lalu untuk pulang bisa dikatakan benar-benar tertunda. Baru liburan inilah aku bisa pulang ke kampong halamanku. Hari-hari yang aku tunggu untuk pulang kekampung halamanku telah tiba. Aku telah menyiapkan seluruh bawaan untuk pulang dengan berat yang cukup lumayan. Kemudian aku berpamitan dengan teman-teman satu kos ku dan meminta doa restu agar aku sampai dengan selamat. Segera aku bergegas menuju pelabuhan dengan diantar oleh salah satu teman kosku. Sesampainya di pelabuhan, aku langsung menaiki kapal karena tiketnya telah aku beli jauh-jauh hari. Aku harus menunggu sekitar tiga puluh menit hingga seluruh penumpang kapal naik ke kapal. Kemudian barulah kapalku berangkat. Perjalanan ini menghabiskan waktu hampir sehari. Karena diriku mulai merasa suntuk, aku gunakan saja untuk tidur didalam dek kapal.

Tak terasa waktu telah berlalu, kapalku akhirnya sampai ditempat tujuan. Kapal yang aku naiki ini berlabuh di kota utama dimana nanti aku masih harus menaiki angkutan umum untuk menyeberangi jembatan yang menghubungkan kota utama dengan memakan waktu dua jam. Selama perjalanan menyeberangi jembatan tersebut, perasaanku menjadi semakin rindu dengan kampung halamanku. Ingin rasanya segera bertemu orang tuaku, saudaraku, dan orang-orang disana. Akhirnya aku pun sampai dikampung halamanku. Aku langsung spontan memeluk keluargaku karena aku sangat rindu mereka. Kemudian aku pun memutuskan untuk istirahat lebih awal karena besok aku ingin sekali melihat-lihat sekitar kampung.

Pagi hari yang telah kutunggu telah tiba, aku segera mandi lalu mengenakan pakaian yang rapih. Kemudian ku ajak adikku Jaka untuk berkeliling kampung. Dengan berjalan kaki, kulangkahkan kaki kami untuk melihat-lihat suasana kampung. Aku menjuluki kampung ini sebagai Kampung Ramah karena seluruh orang di kampung ini ramah, murah senyum, dan enak di ajak berbincang-bincang. Baru beberapa langkah berjalan, aku sudah disambut ramah oleh Kepala Kampung atau biasa kami panggil Pak Kades dikampungku.

"Eh nak Soni sudah pulang toh? Kapan datangnya?" Tanya Pak Kades kepadaku.

"Iya Pak Kades, kemarin saya sampai rumah" Jawab ku kepada Pak Kades.

"Kalian berdua mau kemana? Hati-hati cuaca lagi mendung, takut hujan deras" Tanya Pak Kades lagi.

"Mau muter-muter kampung pak, soalnya saya kangen ngeliat suasana di kampung ini" Jawabku lagi kepada Pak kades.

Kemudian Pak Kades mempersilahkan kami melanjutkan kegiatan kami. Tidak jauh dari tempat kami bertemu Pak Kades, aku melihat pemandangan yang aneh. Kulihat pohon-pohon rimbun yang dulu aku gunakan untuk bermain dengan teman-temanku telah tiada. Bahkan kini digantikan dengan rumah-rumah baru. Lalu adikku menjelaskan padaku bahwa selama aku kuliah, semakin banyak penduduk dari luar masuk ke kampung kami untuk tinggal dan membuka usaha baru sehingga pohon-pohon yang dahulunya dipergunakan untuk bermain kini telah berubah menjadi perumahan di kampung kami. Aku sedikit kecewa namun aku paham bahwa itu digunakan untuk tujuan yang positif. Namun, aku merasa keadaan di kampung kami jadi agak panas. Mungkin dikarenakan pohon-pohon tersebut berkurang dari kampung kami.

Tiba-tiba angin kencang berhembus dan langit menjadi gelap. Tidak butuh waktu lama kemudian hujan turun menghujani kampung kami. Orang-orang yang sedang berada di luar rumah langsung berlari masuk ke dalam rumah. Aku dan adikku berlari ke warung kopi untuk berteduh. Keunikan hujan di kampung kami adalah hujan yang menyerupai badai. Bahkan orang yang sedang memakai payung pun, posisi payungnya bisa berbalik arah karena angin yang dihasilkan saat hujan benar-benar sangat kencang. Selain keunikan dari hujan, kampung kami juga memiliki keunikan sendiri. Sederas apapun hujannya, kampung kami tidak pernah mengalami banjir meskipun daerah kami terdapat di dataran rendah. Namun keunikan tersebut telah terpatahkan. Buktinya, ketika aku sedang berteduh, kulihat air yang seharusnya mengalir deras di selokan, kini tidak mengalir sedikitpun. Bahkan mulai perlahan-lahan mulai tergenang dan air semakin meluap hingga semata kaki. Bagiku kejadian ini sudah masuk ke kategori banjir.

Selama sedang berteduh, ternyata di warung kopi tersebut juga ada Pak Kades yang sedang menikmati hangatnya segelas kopi hitam. Kemudian tiba-tiba beliau memanggil kami dan menyuruh kami mendatangi beliau.

"Eh ada kalian berdua? Ayo duduk sini deket saya" Ujar Pak Kades.

"Baik pak Kades" Jawab kami berdua dan kami ikuti perintah beliau.

"Hmmm hujan-hujan begini enaknya minum kopi hitam hangat. Kalian berdua ngga minum kopi hitam?" Tanya Pak Kades.

"Maaf pak, saya tidak begitu suka dengan kopi hitam. Saya lebih suka kopi susu" jawabku.

"Iya pak, kalo saya lebih suka susu. Hehehe.." Timpal adikku sambil tertawa.

Kemudian kami pun berbincang-bincang dengan Pak Kades. Beliau menceritakan perubahan-perubahan apa saja yang telah terjadi selama aku tidak ada di kampung ini. Apa yang diceritakan oleh Pak Kades sama persis dengan apa yang diceritakan oleh adikku. Kemudian aku pun mulai membahas mengenai keunikan kampung kami yang telah terpatahkan.

"Saya mau nanya pak, biasanya kan kalo hujan lebat selokan kita biasanya tetap mengalir deras. Tapi, kenapa sekarang airnya justru menggenang ya?" Tanyaku pada Pak Kades.

"Itu dia yang sebenarnya yang mau saya bahas. Menurut saya tidak mungkin bila itu hanya sampah karena sampah di kampung kita selalu dikelola dengan baik. Oleh karena itu saya memiliki usul untuk mengadakan kerja bakti seluruh warga di kampung ini. Namun kita memiliki sedikit kendala bagaimana mengajak para warga." Jawab Pak Kades.

"Kalau urusan ajak-mengajak biar saya yang mengurus Pak Kades. Nanti akan saya buat surat edaran dan mengajak warga dari pintu ke pintu pak" Jawabku pada Pak Kades.

"Wah, terima kasih ya nak. Saya jadi terbantu kalo begini" Ujar Pak Kades.

Tidak terasa hujan yang lebat telah reda dan air yang menggenang pun perlahan-lahan surut. Lalu kami segera berpamitan dengan Pak Kades untuk pulang ke rumah. Sesampainya dirumah kami menceritakan kepada orang tua kami atas usul Pak Kades. Kedua orang tuaku sangat setuju karena sudah lama kampung ini tidak diadakan kerja bakti bersama. Aku juga mengatakan bahwa aku dan adikku akan membantu Pak Kades untuk mengajak para warga agar ikut berpartisipasi dalam kegiatan kerja bakti tersebut.

Keesokan paginya, aku dan adikku mulai bekerja. Aku mengetik surat edaran untuk para warga kemudian di cetak. Lalu tugas adikku adalah memperbanyak surat edaran tersebut. kemudian kami membagi tugas kembali. Adikku membagikan surat edaran tersebut kepada warga dan aku memberitahukan kepada warga mengenai kerja bakti melalui pintu ke pintu. Banyak warga yang setuju dan antusias untuk berpartisipasi dalam kegiatab tersebut. Kami termasuk Pak Kades sangat senang mendengar tersebut.

Hari dimana kegiatan kerja bakti pun telah tiba. Aku dan adikku mengenakkan kaos oblong dan celana tiga perempat untuk bekerja bakti. Saat kulihat warga yang berpartisipasi sangat banyak, aku pun menjadi semakin bersemangat. Seluruh bagian kampung menjadi target terutama selokan. Untuk selokan, kami bersama-sama mengangkat pembatas besi yang ada diselokan. Bagi yang tidak memiliki pembatas besi cukup menggunakan tongkat besi untuk merogoh kolong selokan. Ketika kami periksa, memang tidak ada sampah dalam selokan kami namun, banyak sekali daun-daun yang menyangkut di selokan tersebut. Aku dan seluruh warga lalu mengambil daun itu satu persatu dan ternyata sangat banyak. Aku dan warga pun sempat kewalahan namun hal tersebut tetap dapat kami atasi.

Setelah selesai bekerja bakti, kami dijamu makanan oleh ibu-ibu dari kampungku. Kami pun makan bersama setelah lelah melakukan kegiatan tersebut. Aku benar-benar sangat merindukan hal ini karena dulu pernah dilakukan kerja bakti seperti ini juga dan suasana kekeluargaannya sangat kental. Ketika kami semua telah selesai makan, tiba-tiba kilat dan guntur saling menyambar di kampung kami. Para warga lalu lari tunggang langgang karena mendengar hal tersebut. Angin pun mulai berhembus kencang disertai awan hitam yang mulai menyelimuti langit. Aku pun sudah sadar bahwa hujan seperti ini akan turun lagi. Ketika hujan turun, yang aku rasakan justru rasa bahagia karena selokan yang telah kami bersihkan telah lancar dan tidak menggenang.

Keesokan paginya Pak Kades datang ke rumah ku untuk mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya. Beliau mengatakan bila tidak ada aku dan adikku maka kerja bakti tidak dapat terlaksana. Kemudian Pak Kades menjelaskan kepada kami bahwa daun-daun yang tersangkut di selokan berasal dari sisa-sisa pohong yang dulu ditumbangkan kemudian dibangun perumahan di kampung ini. Mendengar hal itu aku teringat kembali dengan keadaan kampung kami yang menjadi panas setelah dilakukan penumbangan pohon untuk dibangun perumahan kampung. Secara spontan, aku tiba-tiba mengusulkan kepada Pak Kades untuk melakukan penanaman pohon kembali terkait dengan keadaan kampung kami yang menjadi panas. Pak Kades pun menyetujuinya namun, perlu dilakukan perundingan dengan warga dahulu. Aku pun menyetujuinya dan segera aku membuat edaran akan diadakannya pertemuan antar warga untuk merundingkan usulan penanaman pohon kembali.

Hari dimana acara pertemuan warga pun telah tiba. Aku tidak menyangka hampir seluruh warga datang bahkan pendatang baru yang tinggal diperumahan kampung juga datang. Kami pun mulai melakukan perundingan dengan khidmat. Kemudian mulai lah timbul perdebatan mengenai lokasi yang akan digunakan untuk area penanaman kembali dan kendala dana untuk pembelian bibit. Kemudian aku pun mengusulkan untuk menggunakan lapangan sepak bola yang sudah tidak pernah terpakai lagi untuk dilakukan penanaman pohon kembali. Warga pun menyetujuinya, kemudian mengenai dana kami pun terus memikirkannya. Bahkan aku pun mengusulkan untuk melakukan penggalangan dana ke kota mengenai hal ini. Namun hal itu tidak di setujui entah karena alasan apa. Akhirnya para pendatang baru memutuskan untuk menjadi donator dalam program penanaman pohon kembali. Kami pun sangat bersyukur karena dana yang kami kumpulkan cukup banyak untuk membeli bibit pohon. Kemudian kesepakatan pun telah diambil dan perundingan berhasil dilakukan dengan baik.

Beberapa hari setelahnya bibit-bibit pohon telah sampai ke kampung kami. Kemudian kami pun mulai melakukan penanaman bibit pohon bersama seluruh warga di kampung kami. Aku sangat senang karena akhirnya rencana kami pun terwujud namun, di sisi lain aku pun juga sedih karena besok aku harus kembali ke tempat dimana aku kuliah. Selesai melakukan kegiatan tersebut, aku pun pulang dan segera menyiapkan barang-barang untuk kepergianku besok. Keesokan harinya aku pun berpamitan dengan keluargaku. Aku pun kaget karena banyak warga yang mengantar keberangkatanku terutama Pak Kades. Aku sangat bersyukur karena tinggal di kampung yang memiliki kekeluargaan yang kental dan aku sangat sayang pada warga kampungku. Aku pun berharap bibit-bibit pohon yang kami tanam akan tumbuh menjulang ke langit dan akan menjadikan suasana kampungku menjadi sejuk kembali.

-SEKIAN-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun