"Mas dikamar saya nggak ada air minum, bisa minta tolong mintakan ke petugas hotel!' pinta seorang ibu yang tiba-tiba muncul di lorong usai saya mengantar rombongan terakhir ke kamar mereka.
"Hubungi langsung saja lewat telephone dikamar bu!" usul saya.
"Saya nggak bisa ngomongnya, nggak ngerti," jawab ibu itu, saya menyerah lalu turun ke bawah. Malam itu badan saya remuk redam, naik turun, mengangkat koper lalu berlaku selayaknya room service.
Saya ingin  bertanya kepada Yudi, kenapa harus saya yang jadi serepot ini? Kenapa dia hanya punya satu rekan kerja dan itupun seorang perempuan sementara kami baru saja menjalani penerbangan satu hari lebih sejak dari Jakarta. Saya menunda pertanyaan itu hingga pukul dua dinihari  kami selesai mengatur segalanya. Â
"Entahlah mas Ary, tiga petugas lokal yang harusnya membantu saya tak muncul malam ini. Jadi maaf kondisinya seperti ini. Mas Ary capek, mau makan dulu?" tukas Yudi memberi penjelasan tanpa saya tanya begitu kami memasuki kamar yang telah ditempati lebih dahulu oleh pak Ade dan Jemaah lelaki lain yang sama tuanya. Saya hanya tersenyum, menggeleng, letih luar biasa.
Dalam waktu menjelang tidur saya memandang langit-langit ditengah keletihan. Mencoba bertanya apa gerangan yang menimpa saya di tanah haram ini sehingga tiba didera keletihan seperti itu.
Kantuk tak mampu saya lawan.  Dalam tidur saya bermimpi, mendengar suara ibu menyuruh mengisi kolam air dengan pompa tangan untuk mandi sore hari dan saya cuma bilang "iyaaa nantiii..." dari depan rumah ketika saya kecil dulu. Sementara itu setelahnya saya mengeluarkan sepeda menuju rumah bu Badri dan Bu Baryono tetangga kami. Saya mengayuh sepeda menuju toko penjual telur yang cukup jauh atas perintah mereka membeli beberapa kilogram telur dan terigu  untuk kemudian menerima upah dari mereka setelahnya. Satu setengah jam waktu habis untuk membeli telur saja.
Sementara hari menjelang maghrib, setiba dirumah ibu merepet: "Darimana saja kamu, disuruh isi air malah pergi kemana-mana, bukannya cepat nurut perintah ibu. Â Cepat isi air sana!" perintah ibu. Saya menggelayut di pengungkit pompa air sambil merogoh kantong. Beberapa keping uang upah dari perintah membeli telur saya sentuh dan berdenting.
"Oooh, pantes, ngeduluin perintah oranglain ya dari pada perintah ibu? Supaya dapat uang  persenan..begitu yaa?" pompa terus saya ungkit, air mengalir deras mencoba meredakan kemarahan ibu. Sementara ibu hanya geleng-geleng kepala.
Menjelang subuh saya terbangun, tertegun dan mengingat doa dan ikrar ketika belum tiba ditanah haram. Â Â
 Â
 "Ya Allah, ditanah suci ini, apapun pengadilan dunia untuk diriku engkau berikan, aku akan menerimanya. Tak akan kukeluhkan, tanpa persenan, perintah para ibu tuapun akan kujalankan,"
-From the desk of Aryadi Noersaid-