PENGADILAN TANAH HARAM - CATATAN TEPI
Roda pesawat menyentuh landasan bandara Abdul Aziz Jeddah. Kerlingan lampu negeri petro dollar memberi salam. Hari itu untuk pertama kalinya seumur hidup saya menghirup udara kerajaan Saudi. Bus yang menjemput bergerak ke tanah haram.
Satu hal yang menggayuti pikiran sepanjang perjalanan adalah pembalasan apa yang akan saya terima ketika kelak tiba di tanah haram. Entah darimana pikiran itu datang, tetapi sebagai manusia saya merasa memiliki begitu banyak kesalahan dan seperti banyak dikisahkan ketika seseorang datang ke tanah haram untuk menyerahkan keyakinan diri kepada pencipta alam semesta maka peradilan akan datang dalam porsi kecil atas kesalahan yang telah dilakukan selama ini.
"Ya Allah, ditanah suci ini, apapun pengadilan dunia untuk diriku engkau berikan, aku akan menerimanya. Tak akan kukeluhkan, akan kujalankan" begitu sepenggal doa dan ikrar dalam hati saya.
Malam itu tanah haram ramai. Lampu-lampu dari masjidil haram berpendar indah. Gerakkan manusia berbagai arah membuat bus bergerak lambat mendekati hotel yang berjarak lima ratus meter dari kompleks masjid. Disamping tempat duduk, seorang bapak berusia enam puluh tahun nampak menitikkan air mata, ia menggenggam pergelangan tangan saya dengan keras lalu memohon.
"Mas, bantu saya selama disini ya. Saya takut hilang, nggak bisa bicara bahasa selain bahasa Indonesia," mohonnya.
"Tenang pak Ade, jangan terlalu khawatir, nanti pimpinan rombongan yang akan mengatur" bujuk saya setelah berkenalan.
"Iya, tapi saya maunya sama mas Ary. Ikut kemana mas ary aja ya selama disini! Boleh ya?"
Bus rombongan terbagi dua, terpisah untuk lelaki dan perempuan. Hampir seluruhnya berusia menjelang pensiun. Hanya saya dan pemandu rombongan yang berusia tiga puluhan. Bus mendekati halaman hotel dan suara rem angin mendesis ketika mobil berhenti.
Koper milik sendiri saya keluarkan dari bagasi samping. Pak Ade menunjuk kopernya yang berada dipojok kanan. Dua koper teronggok disana tanpa bisa ia raih. Saya menolongnya masuk kedalam ruang bagasi bus setelah semua lelaki menurunkan bagasi mereka. Dua koper akhirnya sukses berpindah tangan ke Pak Ade.
Suara riuh terdengar di bus yang terparkir di belakang kami. Mudah diduga, puluhan jamaah ibu-ibu tampak sibuk mengeluarkan  koper mereka. Saling mencari, saling bersilangan kebanyakan dari mereka berusia enam puluhan. Seorang ibu tua melambaikan tangan pada saya dan meminta bantuan untuk mendekat.   Â
"Pak Ade tunggu disini dulu, jaga koper saya juga ya!" pinta saya. Ia mengangguk.