Hari esok adalah misteri, terserah bagaimana nanti.
 --
Malam usai. Dingin tak begitu menyiksa karena angin pergi entah kemana. Namun gunung tetaplah gunung, suhu tak pernah beranjak dari derajat belasan.Semestinya kami  menjarang air untuk menyeduh minuman hangat, namun rencana itu urung mengingat hanya memiliki tiga perempat botol air dan itu adalah air terakhir yang dimiliki.
"Kita masih punya roti keju untuk pagi ini, nggak perlu memasak, tinggal makan!" saya membuka percakapan didalam tenda.
"Roti atau apapun sarapannya kita tetap membutuhkan air untuk minum setelahnya," sahut Rafi
"Kamu dengar dari orang ditenda sebelah. Mata Air kering!" sahut saya. Rafi mengangguk sambil melungsurkan kantung tidur kebagian kakinya.
"Jadi gak mungkin perjalanan kali ini kita bisa menuju puncak?" Fai menyembulkan kepalanya dari balik kantung tidurnya, wajahnya nampak kecewa. Mahasiswa Undip ini sejak dari Jakarta adalah yang paling berkeras untuk menggapai puncak gunung Slamet.
"Mari kita berhitung. Jika kita berjalan dari sini, masih ada Sembilan ratus meter lebih elevasi vertikal tanah yang harus kita taklukkan untuk sampai dipuncak. Perlu lima atau enam jam lagi jika kita berjalan  tanpa istirahat dan itu semua memerlukan air, air minum," pancing saya. Keduanya terdiam.
"Kalau begitu kita harus menemukan air," seru Rafi
"Ya, kita harus menemukan air. Fai gak mau kita mundur disini," tukas Fai
"Ok, kalau begitu pagi ini kita coba mencari air. Kalau nggak dapat, kita turun kembali ke Kaliwadas," tutup saya mencoba menjaga asa meskipun menyadari semua itu hanya akan sia-sia belaka.