Seekor burung perkutut hinggap dengan kaki ‘paserinnya’ bertengger diantara dua tiang bambu yang menopang beranda warung kecil itu. Tubuhnya tirus kebelakang dengan paruh yang meruncing panjang berwarna abu-abu biru. Bulu pada sisi luar ekornya berwarna kehitaman dengan ujungnya berwarna putih cerah. Matanya yang bulat sempurna tak tampak was-was meskipun aku tak jauh duduk dekat dirinya.
Dalam keadaan seperti itu pastilah sang perkutut tak ingin berdendang memperdengarkan keindahan suaranya dan ia tak ingin berlama-lama disana karena dalam hitungan sekejap tubuhnya akan direngkuh manusia yang lebih memilihnya untuk tinggal bertengger dalam sangkar-sangkar sempit lalu mengereknya setinggi mungkin agar mau berdendang dengan langgam yang kadang dipertandingkan.
Perkutut itu nampaknya kelelahan terbang. Kepalanya yang cantik berbentuk lonjong seperti buah pinang menandakan ia memiliki suara yang bervolume besar dan berdurasi lama. Aku ingat bapak mampu membedakan mana burung perkutut yang bersuara bagus dan tidak hanya dengan membedakan bentuk paruh, bentuk kepala, warna mata bahkan dari ukuran kuku.
“Suara perkutut yang indah bukan dari suara perkutut pemenang lomba. Suara mereka yang paling indah adalah ketika mereka berdendang diatas pucuk-pucuk pohon di bumi. Bernyanyi melepaskan suara, menghibur dengan alunan iramanya seperti mereka bersuara menyampaikan pujian tentang indahnya alam raya yang dihuni segenap manusia,” pesan almarhum bapak masih terngiang saat perkutut itu menggeser tubuhnya menjauhi aku yang tengah bangkit dari kursi balok panjang.
Aku memilih mengusir burng cantik itu dengan mendekat kapadanya, sayapnya yang kecil mengepak menjauh dan terus menjauh. Itu lebih baik daripada sekumpulan orang akan dengan cepat memburunya bila melihat keberadaannya. “Pergilah menjauh kamu cantik, sebelum manusia mengungkungmu!”
Lokasi parkir sepeda kuhampiri dengan menyeberang jalan lalu melintas halaman samping kantor polisi yang sisi-sisinya dirindangi pohon trembesi dan mahoni.. Sebuah batang bambu kecil tampak menopang sepedaku karena standardnya yang rusak.
Hanya ada tiga sepeda terparkir disana dan kuperhatikan si kelabu adalah yang paling buruk rupa. Meskipun tak berkarat, warna cat tubuh sepedaku mulai mengelupas membentuk bercak seperti penyakit kulit disekujur tubuhnya. Waktu perjalanan yang panjang dari Sendang witir ke Semarang pulang pergi tak memberiku kesempatan memperindah tubuh si kelabu. Aku lebih sering bergegas membantu bapak di ladang ataupun di kandang.
Dua sepeda lain yang terparkir nampak kinclong dengan ornamen yang bervariasi. Lampu depan lengkap dengan dinamo penggerak listrik, bel denting yang tergosok berkilau, sandaran sampingnya tegak menopang tubuh-tubuh mereka, sementara penutup rantai melindungi dengan kokoh sehingga tak menampakkan sambungann-sambungan besi yang memindahkan energi putar dari kayuhan kaki ke roda belakang.
Disamping salah satu sepeda itu berdiri mematung seorang gadis yang nampak tengah sibuk menyeka matanya. Binar matanya yang jernih ternodai oleh droplet air mata yang berusaha ditahannya. Dari depan aku bisa memandang tubuhnya yang bertinggi rata-rata perempuan Jawa. Kulitnya yang coklat bersih kekuningan terlihat eksotis oleh kilatan matahari menjelang siang. Peluh nampak meluncur di sepanjang lehernya seolah tak memiliki pijakan yang kuat karena kehalusan permukaan kulitnya.
Perlahan tubuh gadis itu sedikit bergetar dan matanya yang indah nampak memicing menahan sesuatu yang ia rasakan begitu dalam. Aku mendekatinya. Wangi lavender merebak makin tajam seiring kuhampiri gadis itu lebih dekat.
“Kamu kenapa?” tanyaku padanya
Gadis itu menoleh cepat, wajahnya perlahan memucat seperti lampu petromaks yang kehabisan bahan bakar. Perlahan sinar wajahnya meredup. Bibirnya bergetar tak mampu menjawab, lalu tanpa sadar kupegang tangannya yang halus namun mulai terasa dingin.
”Ayo, segera cari tempat teduh disana. Mari saya bantu!” aku menunjuk deretan pohon Mahoni tak jauh dari halaman belakang kantor polisi. Semua orang di kantor polisi sepertinya sibuk didalam, tak ada satupun diluar.
Gadis itu menurutiku, melangkah gontai menuju keteduhan deretan pohon Mahoni. Tangan kanannya mengurut kening sedang tangan kirinya berada dalam genggamanku. Aku ingin menopang tubuhnya sekuat mungkin namun rasanya tak pantas untuk menyentuh gadis itu secara erat karena aku tak mengenalnya.
Ketika membantu menyandarkan tubuhnya pada pohon mahoni aku bergegas mencari air untuk mengembalikan kesegarannya. Kuraih botol air yang diselipkan oleh ibu tadi pagi di boncengan belakang sepeda, lalu kutawaran pada gadis itu.
Seteguk air membasahi kerongkongannya. Wajahnya yang bersih hampir tanpa satupun jerawat perlahan kembali bersemu merah. Ia masih tetap memejamkan matanya lalu air mata kembali bergulir satu demi satu. Aku tak ingin mengganggunya dan lebih membiarkan gadis itu memulihkan diri dengan caranya sendiri.
Aku duduk menemani disampingnya yang hanya berjarak satu depa. Sudut mataku tentu tetap tergoda untuk menatap wajahnya yang menurutku sebuah kecantikan kedua yang kulihat di hari itu setelah seekor burung perkutut menghampirku sebelumnya.
“Kamu sedang apa disini?” tanyaku pelan untuk tak membuatnya terkejut.
Matanya mengerjap cepat lalu ia membuka kelopak matanya yang indah. Matanya yang indah bertabrakan dengan tatapanku. Aku tak mengira mata itu akan sebegitu cepat terbuka dan bertabrakan dengan tatapanku yang tengah mengagumi kecantikannya.
Gadis itu secara bersamaan membuang kembali tatapannya padaku, dan ia menangis sesenggukan seolah beban berat ingin ia lepaskan. Ingin kupeluk gadis itu untuk menenangkannya tetapi aku cukup tahu diri.
Aku memang bersekolah di Semarang, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban jawa bagian tengah. Begitu banyak kutemukan gadis-gadis cantik disana tetapi dikawasan gersang punggung pegunungan kendeng ini aku seperti menemukan mutiara ketika menatap gadis dihadapanku saat itu.
“Sekarang aku sendiri,” tubuhnya terguncang oleh tangis.
“Mengapa, apa maksud kamu?” tanyaku tetap perlahan.
“Seseorang membunuh ayahku, ditepi hutan. Mereka membiarkan tubuhnya tergeletak disana dengan tujuh luka tusukan. Pagi ini aku diminta menjadi saksi pelapor…aku sendiri,”
Mendadak aku masygul. Kehilangan itu dapat aku rasakan, tak beda dengan Ayu adikku, kehilangan seorang bapak karena direnggut nyawanya oleh orang lain. Tetapi Ayu tak mengeluh dan merasa sendiri karena ia masih memiliki ibu dan aku.
“Kalau boleh tahu, dimana kamu tinggal?” selidikku
Wajah cantik perempuan itu menoleh kembali padaku. Ya Tuhan, dalam kesedihannya dia masih menebari keindahan wajah yang menggetarkan. Air matanya bagai gletser yang mencair dari puncak gunung salju, garis semu merah pada pipinya seperti alur para peseluncur ski yang halus dan berpola indah sementara satu dua helai rambutnya yang melintas dipipinya bak jalur kereta gantung ski yang membentuk mozaik keindahan pegunungan Alpen.
“Aku dari Desa Randu dampit. Aku selama ini bersekolah di Jogjakarta karena ayah tak menginginkan aku tinggal disini…sekarang ia pergi, seseorang telah membunuhnya”
Ingin aku mengusap air mata dari hulu matanya. Membagi kesedihan dan rasa kehilangan yang ia rasakan seperti juga yang aku rasakan. Tapi satu hal menyadarkanku, teringat ketika Sersan Rustam yang semula berencana ke desa Randu Dampit di hari ini untuk sebuah kasus pembunuhan.
Gadis yang tiba-tiba menggetarkan hatiku ini pastilah….. anak rentenir itu! Inikah air mata balasan Tuhan dari apa yang sering ditumpahkan oleh ayahnya terhadap orang-orang yang tak sanggup menanggung beban bunga hutangnya?
Aku seolah berubah menjadi seorang hakim tanpa palu. Wajah indah yang tengah tenggelam dalam kesedihan begitu membekas dalam hati, namun jauh didalam hati pertanyaan itu muncul: haruskah aku iba pada air mata dari seorang anak lintah darat yang terbunuh beberapa hari lalu?
Sementara itu aku tak sanggup berhenti menatap kecantikan sebuah mutiara dihadapanku.
-Part 10-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H