Chapter-2 Â GAMANG
Usai semua orang kembali ke rumah, aku tak dapat memejamkan mata saat semua peralatan dan perabot acara malam tahlil telah dibersihkan. Tumpukan tikar pandan menunggu dikembalikan esok pagi. Disetiap ujung tikar-tikar tertulis nama pemiliknya sehingga mudah untuk mengembalikan.Â
Pinjam-meminjam tikar adalah hal yang lumrah dalam kegiatan kedukaan maupun kesukaan sehingga tikar-tikar itu umumnya berada di gudang rumah masing-masing pemilik, setidaknya bagi yang tak memiliki gudang, tikar-tikar itu menjadi simpanan yang akan keluar jika dibutuhkan.
Kalimat pak Soleh sebelum kepulangannya ke Gubug seperti membenturkan aku pada kenyataan bahwa semua musibah beruntun yang terjadi selama ini tercium bagai bukan suatu kebetulan.Â
Aku mencoba menggali apa yang ia tahu tentang apa yang diceritakan bapak kepadanya tetapi tak ada cerita tambahan yang memperjelas soal cerita mengenai ancaman pada bapak. Siapa yang mengancam? Untuk apa? Apakah pencurian beruntun dilakukan oleh mereka yang memerlukan uang atau motif lain? Semua hal dimungkinkan mengingat desa sendang witir tak memiliki sejarah pencurian ternak bertahun-tahun lamanya.Â
Kriminalitas paling menonjol hanyalah pencurian kayu-kayu jati oleh para blandong yang menebangi pokok jati tanpa ijin lalu membawanya ke tepi sungai Tuntang untuk dihanyutkan dan menjemputnya di hilir pada malam hari. Â
Wangi dupa kembali menembus kamarku, tercium tipis terbawa angin dari rumah pak Isman diseberang jalan. Bersihnya udara desa kami membawa bebauan menyebar tak terkontaminasi bau lain  hingga berakhir singgah ke hidung siapapun yang terdekat.
"Niyat ingsun ngobong dupo, kukuse dumugi angkoso, kang anggondo arum pinongko tali rasaningsun  manembah dumateng Gusti kang Akaryo Jagad" Â
Sebuah doa mengalun lembut nyaris tak terdengar dari suara perempuan. Sebuah ritual tengah dijalankan bagi sebagian penganut kejawen. Bagi mereka ketenangan jiwa dan kedekatan diri pada Tuhan menjadi tujuan akhir praktik mistik mereka. Sebuah praktek yang sering disalah pahami oleh penganut religius ortodoks sebagai praktik perdukunan lalu menimbulkan sekat-sekat antara santri dan abangan.
"Belum tidur, Tur?" tiba-tiba ibu duduk disamping aku yang tengah berbaring. Aku segera menaikkan punggungku lalu duduk sambil mendekap bantal putih didada.
"Entah karena tembang doa bu Isman diseberang sana atau aku memikirkan bapak. Rasanya seluruh peta hidup ini terhapus, bu," jawabku.