Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lelaki Pemikat Punai (3)

20 Desember 2020   15:17 Diperbarui: 23 Desember 2020   10:46 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya anaknya...mohon dok..mohon bantuannya!"

"Berdoa saja ya mas...saya cuma berusaha. Ini bapaknya kenapa"  Aku menceritakan singkat perstiwa beberapa jam sebelumnya, dokter itu menggelengkan kepala dan bersamaan dengan itu gordeng ditutup oleh para suster. Bunyi gunting dan benturan alat logam saling bersahutan. Aku memundurkan badan  berharap bapak mampu untuk bertahan sambil memeluk Ibu yang  terisak pelan.

Aku dan ibu saling memandang, Pak Mantri Kamidi dan sersan Rustam menanti sambil berbincang perlahan sementara pak Surat tak nampak di sekitar. Sepuluh menit kemudian aku mendengar suara batuk bapak yang berat dan parau. Mendengar suaranya lagi semangatku muncul tetapi mendadak sirna karena aura kepedihannya menahan sakit serasa mengiris tepi-tepi deretan ranjang ruang emergency, menderit bagai besi yang saling beradu.

"Laa..ilaha ilallaaaah!" suara bapak menggema. Aku memburu, menembus ruang tunggu yang berjarak tak lebih dari lima meter. Gorden terbuka lebar, aku memeluk bapak yang belum usai mengatupkan bibirnya. Kalimat Tauhid yang sempurna itu mungkin indah untuk manusia sebagi mahluk yang Kuasa tetapi pagi itu bayangan sakit tebasan golok yang bapak alami mungkin tak sebanding dengan pedihnya melihat penderitaan bapak yang disana-sini berlumur darah. Kalimat kedua dengan bunyi yang sama kembali perlahan menyelinap ditelingaku.

"Laa Ilahailallah...,"lalu  sunyi.

Wangi kelobot tubuh bapak tak lagi mampu kucium, wangi kesturi seolah menyelimutinya. Ibu menyentuh kening bapak lalu meletakkan pipinya diatasnya, aku meletakkan selembar sapu tangan diantaranya, jangan sampai tetesan airmata ibu menyakiti raganya yang telah tak ditemani jiwa.

Sedu sedan ibu serupa dengan ketika ia bersama belahan jiwanya menerima surat dari sekolahku sebulan lalu. Akupun tak mencoba menahan air mata, kami berpelukan layaknya menerima berita penerimaan aku di Universitas impianku. Air mata sedih dan gembira hanya setipis kulit ari.

Pagi itu bapak pergi:

"Innalillahi Wainnailaihi rojiun,"

*Continued Chapter-2*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun