Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lelaki Pemikat Punai (3)

20 Desember 2020   15:17 Diperbarui: 23 Desember 2020   10:46 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rabu Pahing di bulan Dzulqaidah, meskipun belum memasuki musim penghujan tetapi mendung menggayut sepanjang perjalanan ke Puskesmas Kacamatan. Jarak desa Sendang witir dan kota kecamatan cukup jauh, mobil bak terbuka yang sedianya membawa kambing-kambing bapak untuk ke pasar Gubug pagi itu beralih mengangkut tubuhnya yang bersimbah darah.

Aku mencoba menahan tangis sepanjang jalan mengingat bapak yang mampu diam dalam kesakitannya. Menahan perihnya tetesan darah dari kedua lengan yang ditebas ayunan golok para pencuri. Aku tak ingin membebani deritanya. Ibu kuminta duduk disamping sopir. Kepalanya tak henti terus berpaling menatap jendela kaca kecil yang membatasi bak penumpang dan ruang kemudi.   

Dibelakang, kami ditemani pak Surat seorang tua yang kerap membantu bapak mengelola ladang jagung disaat tertentu, Mantri Kamidi dan satu orang polisi, Sersan Rustam. Jalan bergelombang menghambat waktu evakuasi, aspal yang pecah disana-sini akibat seringnya digilas truk-truk pengangkut kayu jati mengakibatkan mobil oleng kekanan dan kekiri. Perbaikan tak menyentuh terlalu sering di sepanjang jalan daerah kami karena partai penguasa kalah dalam pemilu selama beberapa kali penyelenggaraannya.

Pangkal pahaku tetap menahan kepala bapak yang hanya terlihat sesekali meringis. Torniket yang membebat dua lengan bapak terlihat tak mampu menahan seutuhnya laju darah dari lengan yang kain perbannya perlahan basah. Pak Mantri Kamidi sibuk memperbaiki ikatan torniket, ia membawa satu tas ransel tentara berwarna hijau yang berisi berbagai obat-obatan. Profesinya sebagai mantan tentara bagian kesehatan memberinya kesempatan berbakti bagi kampung halamannya desa Sendang witir untuk menjadi mantri kesehatan usai pensiun.

"Banyak sekali darah bapak yang terbuang pak Mantri...aku khawatir!" cetusku.

"Bismillah...kita berdoa saja mas Fatur, ada waktu sepuluh menit lagi untuk tiba. Mudah-mudahan beliau kuat..Kuat nggih pak Renggo..kuaat!" pak Mantri Kamidi menyentuh kening bapak yang mulai menghangat sambil menghibur sepanjang sisa perjalanan. Bapak mengangguk pelan, lelaki itu seperti mencoba meyakinkan padaku bahwa ia baik-baik saja. Sesekali ia memeriksa pupil bapak dengan hati-hati.

Sersan Rustam melompat sigap begitu mobil bergerak mundur. Puskesmas kecamatan memang tak selengkap rumah sakit di Semarang tetapi disanalah harapan terdekat kami membawa bapak untuk mendapatkan pertolongan. Kami mengangkat tubuh bapak tanpa peduli ceceran darah yang mengalir. Puskesmas bersisian tak begitu jauh dengan pasar yang pagi itu cukup ramai sehingga beberapa orang berkerumun hendak melihat ada apa gerangan.

Kebiasaan jauh dari pusat hiburan menjadikan masyarakat menganggap kejadian tak biasa adalah sebagai tontonan, mereka  saling  berbisik menduga-duga kejadian apa yang tengah terjadi. Mereka bukan tak mau menolong. Hanya spontanitas menolong tak muncul manakala tak ada teriakan permintaan untuk membantu. Negeri yang kala itu diperintah dengan sistem Komando membuat  teriakan permintaan tolong Sersan Rustam menjadi satu keharusan. Dengan cepat dan sigap dua tiga orang membantu  menahan tubuh bapak memasuki lorong puskesmas dan membaringkannya ke ruang emergency.

Seorang dokter perempuan muda menyambut kami dan menghampiri bapak dengan sigap, ia meminta beberapa suster untuk membantu segera. Sementara kami dan para pengantar diminta untuk keluar sebagai bagian penanganan pertama.

"Dokter, mohon bantuan dok...selamatkan bapak saya!" aku menangkupkan kedua tangan ke dada sebelum meninggalkan ruangan. Matanya yang bening dibalik kacamata beradu pandang dengan tatapanku.

"Anda siapa..?" tanya dokter muda itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun