Teriakanku disambut kentongan bertalu-talu. Satu demi satu rumah tetangga nampak memunculkan sinar karena tergugah teriakanku. Sosok-sosok lelaki bermunculan ke jalan mengembangkan payung menyelidik apa yang tengah terjadi gerangan.
Hujan basah dipukul empat pagi, aku menghantamkan balok digenggaman kedalam genangan air ditengah jalan. Tetangga berdatangan mereka bertanya satu persatu, aku tak menjawab namun kembali berlari ke kandang diikuti oleh mereka.
Tangis ibu terdengar, berteriak-teriak meminta tolong. Bapak tak lagi mampu mengerjapkan kelopak matanya.
"Fatur...mana fatur?" kalimat terakhir yang diucap bapak pada ibu.
Malam melarut dalam subuh, Tubuhku melayang bagai tak berpijak. Orang-orang saling berteriak. Kandang itu mendadak riuh, nyala senter silih berganti melintasi gelapnya kandang, sementara azan subuh tertutup suara kentongan yang bertalu-talu.
Aku tak tahu, mana yang lebih banyak keluar dari dua bola mataku pagi itu, air hujankah atau air mata?. Air yang selama ini tak diajarkan oleh bapak untuk jatuh saat dalam kesulitan.
Sementara di depan pintu dapur, seorang gadis dengan pipinya yang bersemu merah kerena sentuhan bantal yang baru saja ia tinggalkan di peraduannya nampak termangu. Suara kentongan bertalu-talu membuat keningnya mengernyit. Burung Punai yang bertengger dalam sangkarnya mengepak-ngepakkan  sayapnya demikian keras menyebabkan sangkar bergoyang kesana kemari.
Pagi itu petaka melintas di ladang kami. Kabut embun yang menutup permukaan telaga luruh lebih cepat seolah berubah menjadi air mata tangis.
-To be continued part 3-