"Taruh saja telur itu di dalam ember sabun milik ibu, nanti juga langsung netas sendiri!" ada nada sindiran dari ibu menjawab pertanyaan saya.
Saya perlahan lengser menjauh dan menggeser tubuh untuk hilang ke siku tembok depan rumah. Nampaknya Ibu belum move on dengan tempat sabunnya yang saya curi tetapi ia tak pernah meluapkan amarahnya hanya saja saya memahami ketika nada suaranya tak lagi biasa.
Didepan rumah, bapak terlihat duduk di depan bakal pohon jambu air, raut wajahnya agak terlihat kecewa. Ditangannya satu buku cetak sederhana mengenai kesatuan KKO, pasukan yang dibanggakannya, terbentang didaun tangannya. Saya tak memahami karena belumlah memahami arti sebuah tulisan.
"Mulai tahun ini, tidak ada lagi nama KKO-AL. Sekarang berubah menjadi Korps Marinir. Sudomo sontoloyo..!" bapak meremas majalah itu, kekecewaannya berbekas pada lekukan kertas majalah.
Kelak baru saya mengerti ketika lambang KKO AL setingkat panji berjuluk 'Unggul Joyo' yang mencerminkan kesatuan dibawah presiden langsung telah diubah menjadi lambang Korps Marinir setingkat pataka yang mencerminkan degradasi kesatuan dibawah seorang mentri sekaligus panglima ABRI.
Perubahan ini mengecewakan ribuan pasukan KKO-AL termasuk bapak namun Negara adalah kepentingan yang utama. Semangat mereka tak lekang oleh kebijakan politik. Tatkala Negara memanggil untuk berbakti tak ada kata menolak untuk membelanya. Timor-timur menjadi bukti betapa nyawa demikian banyak pasukan ini telah korbankan untuk sebuah  kepentingan yang hingga sekarang tak dimengerti.
-From the desk of Aryadi Noersaid-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H