Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ikan Impian

27 Juli 2020   18:20 Diperbarui: 27 Juli 2020   18:09 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CATATAN TEPI

Kegemaran saya sejak kecil adalah menjelajah alam. Dibelakang rumah kami terhampar tambak ikan yang dipisahkan oleh sungai kecil dengan sebilah papan yang melintang untuk tempat orang melintas sebagai jembatan.

Tambak-tambak itu berisi ikan Mujair dan Mas dimana ketika panen tiba ditengah musim kemarau kepakan siripnya karena menggelepar saat air di buat surut terasa indah ditelinga, suaranya menaikkan adrenalin dan ketika diangkat senyum para petambak mengembang setara dengan seberapa besar ikan yang terangkat.

Masa-masa panen ikan adalah masa dimana saya melihat uang berseliweran dari tangan ke tangan. Pembeli menjemput ikan langsung ke Tambak sehingga pembayaran di tempat menjadi pemandangan yang umum.

"Pemilik Ikan itu orang kaya ya pak, uangnya banyak?" tanya saya suatu kali kepada bapak

"Ya nggak juga, mereka juga bisa gagal panen, terus nggak dapat apa-apa. Nggak semudah itu jadi orang kaya," sahut bapak, saya kecil memang banyak bertanya, mirip Temon kecil di film Serangan Fajar.

Melihat ikan dipanen, mendengar gelepar ikan saat kehilangan habitat airnya dan bunyi denting timbangan serta arus uang mengalir dari tangan ke tangan mengisi hari-hari penantian saya untuk masuk sekolah dasar.

Diteriknya kemarau saya meninggalkan tambak yang masih ramai. Panasnya hari itu saya lawan dengan mengunyah dua buah pisang lalu berkeliling rumah untuk kemudian mencuci kaki dan tangan di sumur belakang.

Meski memiliki adik  dan kakak lelaki satu rumah, sangat jarang kami bermain bersama. Kegemaran berbeda menghalangi kami untuk memainkan permainan yang sama terlebih adik lelaki saya. Dia memiliki kegemaran berjalan dengan bokongnya, menyeret tubuhnya  untuk beringsut dari satu tempat ketempat lainnya. Ibu kerap geleng kepala melihatnya padahal ia mampu untuk berjalan dengan kedua kakinya tetapi begitulah ia melewati hari-hari bermainnya.

Ketika saya mengunyah pisang dan menuju sumur, kami berpapasan dimana adik saya bergerak beringsut dengan bokongnya di teras  depan rumah tetangga yang lebih tinggi satu meter dari permukan tanah. Ia nampak ceria dan memanggil-manggil mengajak bermain bersama.

"Ogah..kamu ngesot sendiri aja!" begitu biasanya saya menolaknya bermain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun