Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan yang Terperangkap

24 Juli 2020   14:11 Diperbarui: 24 Juli 2020   14:25 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jalan Asem Baris Tebet  punya sejarah tersendiri. Disana seingat saya saat kecil memang terdapat beberapa pohon Asem yang berjajar disepanjang jalan. Bukan hanya dijalan utama tetapi di jalan kecil yang bermuara ke jalan Asem baris  juga banyak dipadati pohon asem.

Pohon asem ini dulu bagi saya adalah pohon yang menakutkan melebihi pohon beringin. Betapa tidak, ibu dan beberapa tetangga membisikkan kepada kami anak-anak kecil bahwa pohon asem adalah tempat bersemayamnya mahluk gaib yang menakutkan.

Kami dilarang kesana karena nantinya akan diganggu oleh sejenis setan perempuan yang kerap menangis bila menjelang maghrib.
Sebagai sesama anak kecil di kampung kebon baru kami tidak saling berdikusi karena otak kami belumlah sampai tahap kesana, Yang kami rasakan adalah berusaha untuk tidak bermain dibawah pohon asem yang digembar-gemborkan dihuni mahluk gaib perempuan.

Suatu sore entah siapa yang berinisiatif, kami kumpulan anak kecil diajak untuk mengunjungi pohon asem yang lebat . Di samping pohon asem itu tertanam satu kotak menyerupai tembok kecil berbentuk segi empat. Bentuknya kokoh terbuat dari beton dan ada  terukir beberapa tulisan yang kami tak paham karena belum bersekolah. Alasnya bersentuhan dengan akar pohon asem.

Kami diminta mendekati kotak beton itu lalu seorang ibu dari teman kami mulai bercerita bahwa bila kita mendekatkan telinga ke kotak beton itu maka akan mendengar suara tangis perempuan yang menyedihkan, seperti cerita yang selama ini kami dengar dari masing-masing ibu kami. Diceritakan bahwa perempuan itu terperangkap didalam dan tak mampu untuk keluar karena ia kerap melawan orang tua.

Satu persatu kami anak-anak kecil beringsut mundur namun beberapa anak termasuk saya berusaha maju dengan menahan ketakutan yang luar biasa, merasa penasaran untuk mendengar tangis dari dalam beton itu.

"Ayo siapa berani mendengar, ayo sini!" tantang seorang ibu diantara kami.

Hanya beberapa anak yang mendekat dan mengelilingi kotak itu lalu mendekatkan telinga  dalam sisi-sisi yang berbeda. Langkah kami siap mengambil langkah seribu jika mendengar sesuatu yang mengerikan. Kami saling memandang untuk memastikan hal itu dilakukan bersama sama. Para ibu hanya memandangi kami dari jauh.

Salah satu anak dihadapan saya tiba-tiba berlari menjauh, memeluk ibunya. Saya sendiri belumlah meletakkan kuping ke dinding itu dan perlahan menjadi ragu untuk meneruskannya. Dalam sekejap saya memberanikan diri menempelkan telinga lalu mendengar sayup sayup suara desingan mirip rintihan kecil yang saya tak tahu itu suara apa namun cukup membuat saya menjauhkan telinga dan berlari menjauh.

"Dengar kan?" rombongan ibu-ibu bertanya.

Kami bersama-sama tak menjawab dan memilih percaya bahwa pohon asem adalah pohon yang tak baik untuk anak-anak kecil bermain disana.

Ketika saya memiliki adik dan mulai membesar serta telah pindah ke lain tempat di Jakarta, kembali saya  bertanya pada ibu tentang apa gerangan  mahluk perempuan  yang menghuni kotak beton dibawah pohon asem di jalan dekat rumah. Ibu tersenyum dan mulai  bercerita.

"Dulu kakak lelaki tertuamu sebelum dititipkan ke nenek kamu di Semarang pernah bermain disana bersama teman-temannya. Mereka memanen beberapa buah asem yang berjatuhan lalu mengumpulkan biji-bijinya setelahnya. Nggak tahu kenapa malam harinya kakak kamu menangis sejadi-jadinya menjelang tidur. Ibu bapak bingung karena ia menunjuk lubang hidungnya yang terasa sakit. Kami membawanya ke RS Mintoharjo malam itu juga karena dia mula kesulitan bernafas,"

"Lalu apa yang terjadi, bu? Karena setan perempuan itu?" kejar saya

"Dokter menemukan dua butir biji asem yang menyangkut dipangkal hidung kakakmu, Dia tak melapor ke ibu atau bapak saat biji asem itu sengaja dimasukkan kedalam hidungnya lalu tak dapat mengeluarkannya. Mungkin karena takut,"

"Jadi?" tanya saya

"Ibu-ibu disana khawatir setelah peristiwa kakakmu. Untuk melarang kalian main disana itu susah. Ibu-ibu disana dulu sepakat untuk bikin cerita seram buat kalian!" ibu seingat saya tersenyum memandang saat itu.

"Jadi apa yang aku dengar waktu itu di kotak beton?"

"Ya suara anginlah. Mana ada suara perempuan nangis disiang bolong. Dasar anak kecil mau aja di bohongin." Ibu tertawa terpingkal-pingkal menyisakan rasa sesal saya yang terlanjur pecaya.

Kotak beton itu sudah terlanjur menakutkan saat  kami kembali berkunjung kesana saat dulu masih kecil baik  untuk berlebaran atau hal lain. saya tetap meminta ibu untuk jalan melambung menjauhi jalan itu.
     
"Dasar anak kecil!" sungut ibu saya kala itu.

Saya tak peduli, bayangan perempuan yang terperangkap di kotak itu masih juga menghantui meski saya tahu ceita yang sebenarnya.
--
HATI-HATI  MENANAMKAN CERITA PADA ANAK! WASPADALAH!

-From the desk of Aryadi Noersaid-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun