Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Larat - Cerpen Tiga Paragraf

24 Maret 2020   10:49 Diperbarui: 24 Maret 2020   10:59 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Bim, berhentilah! tak layak kau melakukan semua ini. Jangan kau memaksakan diri sementara angin terus bergulung langit tak kunjung tersenyum, tunggulah dalam bilangan minggu kedepan, hentikan!" Rahwono berusaha mengentikan segala tindak Bima yang tengah mempersiapkan perahu kecilnya. Angin Desember terus bergemuruh menabrak pucuk-pucuk tiang layar dari kumpulan perahu yang terdududuk di pantai. "Kau pikir istriku bisa menunggu, sedang jabang bayi tak bisa menghentikan perkembangan raganya di rahim ibunya?  Aku tak punya uang Rah, aku tak bisa menunggu angin barat usai sementara waktu terus berjalan menjelang kelahiran. "Tak ada bidan yang bisa dihutang di kampung ini, kita harus ke kampung seberang dan itu perlu uang," Bima terus meluruskan tali jalanya menepis timbang saran dari sahabatnya.

"Tapi kau mempertaruhkan kehidupanmu Bim, ini musim barat. Tak ada satupun nelayan lain yang melaut..bahaya Bim..bahaya. Kau ini seperti nelayan kemarin sore saja, ingatlah resiko itu, ingatlah calon anakmu yang butuh kau sebagai seorang ayah, bagaimana jika dia hidup lalu kehilangan ayah!" bujuk Rahwono. "Rah..ada ayah dan tak ada ayah hidupku kemarin sama saja, ayahku pemabuk, nelayan yang malas, kau tahu aku begini juga karena dia! Aku tetap jadi nelayan miskin" kutuk Bima. "Astaga Bima, tak patut kau berkata begitu, kau calon ayah yang baik, yang besar dalam keburukan ayahmu tetapi kau menjadi pemuda yang bertanggung jawab, kau calon ayah yang baik, jangan kau merutuki dirimu!" rayu Rahwono. "Hidup mati ditangan gusti Allah, Rah. Aku kan cari peruntunganku demi anak istriku!" tonggak tercabut, Bima melemparkan tali ke atas perahu dan menahan utas tengah tali untuk menahan sejenak.

"Bim..tolong pikirkan, kita pergi ke kota saja, denganku, kita cari kerja apa saja..ayolah!" Rahwono membujuk namun dibalas dengan pelukan Bima. "Aku titip keluargaku, istri dan calon anakku!". Bima melompat kedalam perahu dan ombak yang menggulung ke pantai memudahkannya meluncur ketengah laut. Sementara langit gelap, awan begulung hitam, petir menyambar nyambar. Muson barat begitu garang, melajukan perahunya ketengah. Kilatan petir mengerjapkan mata, ledakan begitu membahana, dipinggir pantai sayup-sayup ia melihat kilatan bak keris menghujam bumi. Blaaaaar......, sosok manusia menggelepar ditepi pantai, Bima terkesiap. Tak ada lagi orang selain sahabatnya, Rahwono, disana..... Bima memutar kapal kecilnya namun suara berderak mematahkan kemudinya. Kapal berayun ayun tanpa berubah haluan. "Rahwono....!" teriaknya memanggil-manggil. Ia tak sanggup merubah haluan lalu melompatkan tubuhnya pada air menuju pantai, ia tak ingin kehilangan sahabatnya. Ombak laut ia renangi sekuat tenaga. Satu demi satu orang-orang kampung mendatangi tubuh Rahwono dan hingga petang usai, Bima tak kunjung tiba menemui tubuh Rahwono dan ia tak pernah tiba . Malam melarut, perahu kecil larat demikian jauh, tanpa nakhodanya. Muson barat tetap merajalela dengan gagahnya.

-Aryadi Noersaid-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun