Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

(Sebuah Novel) Tanah Hijau di Tanah Merah

24 Januari 2018   12:06 Diperbarui: 24 Januari 2018   12:08 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanah Merah, begitulah kami awalnya menjuluki wilayah kami ketika menjejakkan kaki pertama kali di awal tahun 1975. Sebuah daerah bernama Cilandak yang terletak di pinggiran selatan Jakarta yang banyak ditumbuhi pohon jambu air dengan warna tanah kemerahan yang menggumpal-gumpal membentuk bongkahan, terhampar merata di setiap sudut halaman rumah.

Ayah memboyong kami sekeluarga, Ibu sebagai istri dan keenam anaknya, ke sebuah rumah yang diberikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk dipinjamkan sementara selama  ayah berdinas sebagai tentara.

Kami meninggalkan lima ekor marmut yang masih tinggal bersama di kolong tempat tidur di rumah kami sebelumnya yang berada ditengah kota. Rumah yang teramat kecil berdinding 'gedek' (anyaman bambu) yang dipinjamkan oleh seorang pak haji di daerah Tebet  karena kebaikannya.

Pagi hari ketika pertama kali  membuka pintu rumah milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia-ABRI itu, tampak semburat senyum ayah menghiasi wajahnya, wajah seorang pemimpin keluarga yang bahagia karena setidaknya berhasil membawa keluarganya ke sebuah tempat tinggal yang super layak untuk ukuran kami saat itu meski bukan berstatus rumah sendiri.

Uluran tangan teman-teman baru Yudi, Iyok, Harris, Wiranto, Heri dan banyak teman sebaya menghampiri jemari saya tepat saat barang-barang kami  diturunkan dari truk tentara yang membantu pindahan dari rumah kecil kami di tengah kota. Mereka datang lebih dulu beberapa minggu dari kami dan sama-sama menjalani hidup di kompleks tentara dengan segala kehidupan yang mengiringi setelahnya.

Nun jauh diseberang lautan sana, disebuah negeri bernama Portugal, tengah bergulir sebuah Revolusi bunga yang mengubah nasib negeri-negeri jajahannya yang tersebar di Asia.

Meski jauh dari negeri Zamrud khatulistiwa, Indonesia, namun tak dinyana Revolusi Portugal atau yang biasa ketika kami kecil dulu menyebutnya Portugis ini memberi warna bagi kehidupan kami dimasa-masa berikutnya. Timor Leste yang kala itu manyandang nama Timor-timur dimata bangsa Indonesia,  menemukan moment yang tepat untuk menentukan nasibnya. Perpecahan yang terjadi di negeri jajahan Portugis ini membawa mereka kepintu perang saudara yang akhirnya  mengundang campur tangan Indonesia.

Disinilah setiap selang waktu tiga bulan sekali, bola mata kecil kami menyaksikan silih berganti ayah-ayah kami meninggalkan keluarga untuk menjalankan perintah 'Negara' atas nama kepentingan Integrasi yang konon didesakkan oleh beberapa pihak di Dili, Jakarta, Canbera dan Washington DC.

Ribuan prajurit, berangkat meninggalkan anak dan istri tanpa tahu makna perang ini. Tak ada maklumat perang karena memang tak dinyatakan dalam alasan keberangkatan mereka. Semua semata untuk memastikan bahwa Timor-timur tak jatuh dalam genggaman komunisme yang dengan mudahnya bisa muncul di negeri bumi Loro sae .

Seroja, nama bunga yang indah, namun tak seindah nama yang memaknai hidup kami. Bunga ini menjadi bunga yang penuh darah dan air mata, tatkala dalam operasi militer yang bernama Operasi Seroja beberapa sahabat saya kehilangan ayah-ayah mereka dan sebagian menyebabkan hilangnya sebagian raga, tangan, kaki maupun bagian tubuh lainnya karena ganasnya perang di rimba raya negeri tandus itu. Entah bagaimana cerita gugurnya mereka tak serta merta melahirkan gelar Pahlawan  meskipun itu tak mereka minta dalam setiap langkah perjuangan mereka menjaga negeri yang besar ini.

Tanah merah berubah menjadi Tanah Hijau, ketika kami melepas barisan pasukan yang pergi silih berganti, Lapangan upacara Kestarian atau markas  Korps Komando, nama Marinir sebelum tahun 1975 dulu serta merta berubah menjadi hijau bagai rumput subur yang bergerak dengan derak suara benturan senapan dan bumi, dengan kelopak-kelopak  bunga berbaris berwarna ungu, warna  dari baret mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun