Pukul dua pagi, angin tengah mati langkah. Sementara bulan bergeser seperti biduk mengarungi lautan bintang dilangit mendekati bukit-bukit. Saya menghela nafas dalam-dalam sambil mendekati  dermaga kayu yang berderit mengikuti tekanan langkah kaki.
Disini waktu seakan tak bergerak, ditepian teluk tanpa nama dihampir ujung bagian timur daratan yang memanjang dari barat, ditepian rimba Taman Nasionali sebuah pulau yang terasa mistis yang dahulu konon nampak 'Kremun-kremun' (samar) ditatapan Sunan Muria dari petirahannya di Puncak gunung Muria Pulau Jawa, sehingga salah satu dari Wali Songo itu memerintahkan puteranya untuk pergi mengunjungi pulau yang ia sebut Karimun.
Air laut memantulkan cahaya keperakan membiaskan bayangan bulan. Sesekali ikan Todak bergerak melompat mengagetkan kerumunan ikan-ikan kecil yang mencoba menakutinya agar tak bisa dimangsa. Laut seperti kaca sementara satu perahu layar yang bersauh mencari kesunyian nampak bergoyang pelan dalam alun laut yang kadang dikibas oleh sirip kerumunan ikan-ikan.Â
Mungkin begitulah bayangan romantisme ketika kapal kapal besar dari Eropa mendaratkan orang-orang mereka di bumi Nusantara. Kemolekannya tiada tara, daratan yang menghimbau untuk didarati dengan nyiur berjajar ditepi pantai dan bau rempah yang menjelma bak emas hitam untuk kemakmuran siapa saja yang memanfaatkannya.
Dermaga kayu yang saya pijak nampak sederhana, ia berdiri ditepi daratan yang tak punya tetangga. Tak ada satupun  bangunan lain disekelilingnya. Yang terdekat berjarak dua sampai tiga kilometer jauhnya melewati hutan, pematang dan kerumunan bakau.
Konon beberapa tahun lalu kapal hanya terbatas melayani seminggu sekali saja sementara listrik dan ATM tak ada yang beroperasi di sana. Semua itu berubah ketika kini  kapal hampir setiap hari melayani Karimun Jawa kecuali hari kamis. Ingin pilih yang berdurasi lima jam atau dua jam tergantung isi kantong saja. Penginapan di kota Karimunjawa merebak dengan harga yang sangat terjangkau
Saat menghela kendaraan dari Jakarta saya membayangkan akan menemui Pulau yang mirip dengan pulau di kepulauan seribu yang akan habis dikelilingi dalam beberapa menit saja  tetapi begitu tiba disana ternyata wilayahnya yang hampir separuh luas wilayah kota Depok menyimpan misteri yang tak mungkin dilalui dengan mudahnya.Â
Ketika mendekati pelabuhan karimunjawa, gugusan bukit yang menjulang dengan hutan lebat membentang dari timur ke barat. Cuacanya tak beda dengan wilayah jawa pada umumnya karena pulau jawa hanya sejauh 50 mil disebelah selatannya.
Hamparan pasir putih tampak menggoda dan konon pasir putih menandakan terumbu karang hidup dengan suburnya dengan melepaskan serpihan-serpihan partikel tubuhnya yang putih setiap hari dan berkumpul menjadi pasir di garis-garis pantai.
Saya bercakap-cakap dengan seorang turis eropa diatas ferry dan bertanya siapa yang memberitahu mereka untuk datang ke Karimunjawa. Mereka berkata bahwa Karimunjawa adalah salah satu destinasi wisata laut yang disarankan untuk didatangi oleh buku dan situs Lonely Planet.
Dari situs layanan penyediaan penginapan, saya mendapati satu tempat yang mendapatkan skor review luar biasa: 9.4 dengan komentar umumnya datang dari para turis jerman, Austria, dan sebagian dari Amerika.Â
Jadilah saya memesan dua kamar dengan berbagai ekspektasi yang  umumnya dimiliki oleh orang yang ingin berlibur. Layanan penjemputan, welcome drink, concierge, Aircond room dan lainnya.
Tiba di Pelabuhan Karimunjawa kami berlima  dijemput oleh seorang lelaki muda berkulit eksotik ala pria jawa. Ditangannya tergenggam satu papan bertuliskan "FLOATING PARADISE". Kami bercakap dan ia sigap mengangkat koper yang terberat keatas motornya. Tak ada tawaran kendaraan mobil selain sepeda motor  untuk menuju penginapan yang ternyata adalah miiliknya sendiri.
Untungnya pasukan yang dibawa semua setiap hari bersekolah naik motor maka jadilah kami menyewa tiga sepeda motor untuk berlima. Usai mengisi bensin kami makan siang dahulu dan membiarkan Mas Tono pergi dahulu membawa satu kopor terberat kami.
"Kami akan menyusul mas!" pesan kami mantap.
Usai makan siang kami melajukan motor ke arah timur tempat dimana floating paradise berada melalu jalan aspal yang cukup mulus, meliuk-liuk hingga tiba jalan berubah menjadi conblock menembus pesisir pantai betanaman perdu dan berbukit hingga tiba diujung jalan conblock.Â
Dua puluh menit sudah dilalui perjalanan berakhir di pinggir hutan. Perintah untuk masuk kedalam hutan di pelabuhan saya ingat tapi tidak seperti yang kami temui pada kenyataanya, jalanan hanya tanah dan jalan ke hutan membelok kearah utara. Petualangan dimulai!!!
Kami menembus hutan dengan tiga sepeda motor hingga sampai ditepi pantai dan signal handphone sudah kembali didapat.
"Kami sudah lihat bapak dari sini, bapak dipantai kan? terus saja motornya lalu parkir didepan gerbang pagar!" Mas tono nampaknya melihat kami dan memang dari kejauhan nampak dua bangunan menjorok kelaut terlihat samar-samar. Kami memacu kembali motor dan beberapa menit kemudian sebuah gerbang ditepi hutan bakau terlihat dan tertulis nama property.Â
Kami memarkir kendaraan disana meninggalkannya ditepi hutan bakau lalu berjalan dengan tas-tas kami. Lima ratus meter jauhnya kami berjalan diantara tegalan bekas tambak udang lalu menemui sebuah jembatan kecil mengarah ke laut dan menyusurinya hingga tiba pada apa yang dinamakan SURGA YANG TERAPUNG.
Kami yang datang semua tercekat mendapati kesunyian apalagi ketika pemilik memberitahu bahwa listrik hanya ada lewat pukul enam sore saja dan akan menghilang pukul enam pagi esoknya. Tetapi semua itu tak berarti apa-apa ketika kami mendapati bentangan didepan kamar yang hanya tersedia dua kamar saja.
Dunia begitu indah dengan hamparan hijau bukit Taman Nasional Karimunjawa. Didepan dan dibawah kamar kami karang-karang hidup dengan ikan-ikan berwarna-warni serta sesekali terlihat ikan Pari yang menyusuri dasar laut yang dangkalnya satu  meter saja. Disaat itu juga kami menyatakan listrik adalah urusan pelengkap saja.
"Bagaimana mungkin sampeyan bisa menjual keindahan ini keseluruh dunia dengan keterbatasan ini mas?" tanya saya kepada Mas Tono.
"Itulah, beberapa penduduk sini menjuluki saya orang gila," Mas Tono tertawa tetapi tersimpan kepuasan mendapati bahwa kami tidak kecewa atas keterbatasan yang ada.
Kalaupun ingin makan diluar mie instan dan sarapan roti home made ala inggris buatan Astrid maka kami harus mau mengarungi pejalanan yang penuh tantangan ke kota.Â
Anehnya kami sekeluarga segera berunding dan malah berencana memperpanjang  untuk tinggal ditempat itu dua hari lebih lama dari tiga hari yang seharusnya.  Tetapi empat orang Jerman akan tiba begitu kami pergi meninggalkan tempat ini dalam tiga hari kedepan.
"Sudah full book mas," sahut Mas Tono. Wow..saya menghitung tak akan lebih 1000 Â orang setiap tahunnya yang bisa merasakan bagaimana keindahan bumi dan airNya dari sini.
Kami seperti hidup diabad delapan belas dimana lampu pijar baru saja ditemukan oleh Thomas Alpha Edison tetapi disitulah indahnya. Hanya saja satu-satu penanda kami hidup dijaman modern adalah kerlap-kerlip sebagian pucuk tower milik salah satu provider telephone seluler yang mengirimkan signal 4 G dari balik sisi barat bukit.Â
Kami tak punya tetangga, tak punya televisi dan tak punya orang lain selain kami sekeluarga dan pemilik floating paradise.
Karimunjawa, I shall return
-Note From Caribbean Van Java -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H