“Tolong dijawab dengan serius. Tahu namanya tetapi baru mengenalnya satu jam yang lalu!” gertaknya dengan ‘Singlish’ yang kental. Tak ada senyum dan saya sambut juga dengan wajah dingin. Tak sekalipun saya bertanya lagi kenapa ia menahan saya.
“Saya mengenal namanya karena saya yang mengisi kartu kedatangannya. Ia tak mengerti bahasa Inggris dan dia meminta bantuan saya untuk mengisinya,” seru saya datar. Lalu saya menyebut nama petugas itu secara utuh. Ia melihat dengan nada tak senang. "Seperti itulah saya mengenal Hasyim dan Anda. Dari pasport dan dari nama anda yang tertulis di dada!”
“Sudah berapa kali anda ke Singapura?”
“Anda bisa mengeceknya lewat paspor saya," lalu saya menyodorkan passport yang belum ia sentuh sama sekali. "Mungkin sudah lima puluh kali atau mungkin seratus kali. Saya tak pernah menghitung!”
Petugas itu lalu mengambil paspor saya dan kembali meninggalkan saya dalam kamar yang dingin dan berdinding pucat. Dua puluh menit ia pergi tanpa kabar apa-apa. Beruntung kala itu saya tengah berpuasa dan tak hirau rasa haus apalagi lapar.
Satu setengah jam mereka cuma mengunjungi lalu meninggalkan saya beberapa kali dalam ruangan kecil dan pernyataan terakhir yang mereka lontarkan adalah, "Silakan kembali ke antrean!”
Lalu seorang petugas mengantar ke antrean gerbang tempat saya dicomot. Tanpa ucapan maaf atau apapun apalagi ucapan terima kasih. Tiba di meja imigrasi, Petugas berdarah India mencap paspor tanpa bertanya apa-apa dan seperti biasa tanpa senyum di bibirnya.
Ke mana Hasyim? Benak saya terbersit pertanyaan ketika melangkah meninggalkan meja petugas imigrasi itu sambil menoleh ke kanan, di mana jendela-jendela dengan tirai yang rapat berjejer menyimpan misteri tentang ada apa di baliknya. Pada seorang etnis Melayu yang kebetulan sama-sama keluar bersamaan dari gerbang imigrasi saya bertanya.
“Berapa harga senyum di sini ya?”
Lelaki itu menengok kaget ketika saya bertanya padanya.
“Ooh…seharga senyum di Padang Mahsyar!” ia tersenyum dan pergi.