Meskipun punya hak untuk tak berpuasa karena perjalanan yang menempuh ribuan mil, satu kali saya bertekad tetap menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Sejak keluar dari hotel pada hari terakhir di satu kota di Asia barat menuju pulang ke negeri sendiri, makan sahur dengan sandwich dan sebotol kecil Juice apel cukup menjadi bekal untuk berada di ruang minim oksigen di ketinggian tiga puluh ribuan kaki selama sepuluh jam.
“Anda tidak perlu memaksa seperti itu jika harus berada dalam perjalanan yang jauh untuk tetap berpuasa, jagalah stamina anda?” supir taksi yang mengantar saya ke Airport dan kebetulan seorang muslim mengingatkan saya ketika ia bertanya apakah saya berpuasa dan menanyakan tujuan saya.
“Tidak saudaraku, saya tidak memaksa, jika nanti saya tidak kuat saya akan makan dipesawat, semudah itu. Lagipula saya tidak sedang naik unta di gurun pasir yang panas sehingga perjalanan saya layak untuk disebut boleh tidak berpuasa,”
“Syukurlah, sepanjang anda tidak memaksakan diri, It’s oke.”
Lalu pesawat mengudara dengan tujuan Jakarta transit di Singapura. Buku dan entertainment console di depan sandaran kursi cukup untuk membunuh waktu dalam dengung engine pesawat Boeing berbadan lebar.
Tiba waktu makan siang saya tertidur pulas dan ketika bangun semua penumpang telah selesai menyantap menu makan mereka masing-masing. Seorang awak kabin menghampiri begitu melihat mata saya membuka dan menawarkan beberapa pilihan menu untuk ia sediakan sebagai menu makan siang.
“Maaf anda tadi tertidur, sekarang silahkan pilih menu yang tadi saya sebutkan!” pinta seorang pramugara berkebangsaaan singapura.
“Terima kasih, boleh saya meminta makanan sewaktu-waktu jika saya ingin makan nanti?” tanya saya
“Boleh, anda ingin meneruskan tidur?”
“Tidak, saya hanya sedang berpuasa,”
“Ouw..Ramadhan?” ia bertanya dan saya mengangguk.