Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keringat, Hijau, Panen - Catatan Tepi

17 September 2016   07:04 Diperbarui: 17 September 2016   09:04 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertemu dengan sekelompok lelaki perkasa yang diantaranya tengah sibuk menyeka wajah berpeluh usai melakukan berbagai kegiatan diantara sawah dan ladang yang menghijau itu sungguh luar biasa.

Di tengah obrolan kami, tak ada satupun dari mereka yang bisa dengan cepat menjawab ketika saya spontan bertanya tanggal berapa hari ini?.

"Bagaimana mungkin bapak-bapak nggak mengerti tanggal sementara padi yang ditanam ini kan harus diawasi kapan disemai, kapan ditanam dan kapan dipanen?".

Para lelaki perkasa itu saling memandang berharap salah satu diantara mereka bisa menjawab pertanyaan mudah saya.

Sebagai petani yang setiap hari berteman gemericik air yang mereka biarkan menyentuh betis masing-masing, desisan mulut yang mengusir burung-burung pengganggu bulir muda dan tak ada perdebatan panjang tentang bagaimana rencana diantara mereka untuk melawan seluruh hama yang mengancam harapan. Maka tak ada kalimat runut dan canggih yang bisa diutarakan untuk menjawab mengapa mereka tak begitu peduli tanggal.

Saya menyusun jawaban mereka dalam pemahaman saya sendiri dari kalimat-kalimat sederhana mereka:

"Padi di sawah ini adalah kalender kami, selebihnya hari yang berjalan akan mengikuti apa yang kami lakukan terhadap sawah kami. Harapan hidup kami dimulai ketika bibit kami semai dan kami tanam sementara setiap hari adalah tugas kami memastikan seberapa tinggi padi yang mengisi harapan hidup kami dan hama apa yang mengganggu mereka sampai saatnya panen tiba ," kurang lebih begitulah yang mereka sampaikan.

"Lalu bagaiamana bapak-bapak membiayai hidup sementara menunggu sekian bulan padi ini memberi rejeki kepada keluarga bapak semua?"

"Anak-anak kami dibiayai sekolah dari hasil padi ini sementara hidup sehari-hari kami biayai dari keringat yang mengalir setiap hari. Tidak ada hari tanpa keringat kerja dan tidak ada keringat kerja tanpa imbalan,"

"Imbalan? dari siapa?"

"Apa yang akan kami dapat dari padi ini adalah penghasilan yang pasti kami dapatkan diakhir panen nanti . Kami tak pernah khawatir kecuali Tuhan marah dan merebutnya dari kami lewat hama atau bencana. Meskipun belum panen Hijau nya sawah kami selebihnya mengundang rejeki lain. Rejeki lewat belut yang bisa kami jual, lewat ikan yang mengikuti aliran air yang bisa kami makan, lewat singkong yang mengisi petak-petak kosong ditegalan, lewat burung-burung belibis yang digemari orang kota,"

"Kalau sawah dibiarkan kosong tanpa tanaman?" tanya saya.

Mereka terdiam, saling memandang.

"Keringat mengundang kehijauan, kehijauan mengundang rejeki, rejeki mengundang senyum keluarga, senyum keluarga mengundang doa, doa-doa mengundang panen yang berlimpah dan panen mengundang tercapainya tujuan hidup!" saya menyimpukan sendiri dihadapan mereka.

Lewat percakapan dengan mereka, ternyata sebagai orang kota, saya lebih sering menunggu tanggal dan lebih sering lagi menganggap bahwa tanggal tertentu adalah satu-satunya rejeki yang saya punya dan meyakini tak ada lagi rejeki diantaranya tanpa perlu mengganggu proses kehijauan dari apa yang ditanam apalagi saya tak lebih dari seorang buruh yang tak memiliki lahan hingga tak memiliki hak penuh mendapatkan hasil panen seluruhnya.

Lebih banyak lagi sebagai orang kota saya sering menyaksikan bagaimana orang-orang kota lebih sering mengundang hama pada sawah yang mereka tanami dan menjadikan hama sebagai teman hingga tak peduli pada hasil panen yang menjadi tanggung jawabnya karena menganggap hama bisa menghasilkan rejeki dari perangkap yang dibuatnya.

Kita sering menuntut keadilan pada hasil panen sementara membiarkan padi-padi mengering tanpa air karena merasa sawah bukan milik mereka sendiri lalu sibuk mengisi waktu dengan mengeluh dan memelihara hama-hama yang justru harus dibasmi.

Begitu banyak PR yang harus diselesaikan sebagai orang kota. Para pria perkasa dipinggiran tegalan itu memastikan bahwa sukses adalah bagaimana mengundang panen lewat keringat yang pantas dikucurkan untuknya.

Sementara kami orang kota lebih sering memastikan bahwa sukses adalah bagaimana menghasilkan panen sebanyak banyaknya dengan keringat dan pikiran sedkit-dikitnya. Maka ketika kegagalan panen tiba mereka sibuk mencari ketiak-ketiak orang yang mereka anggap mampu untuk berlindung dibawahnya lalu merutuki pemimpinnya

Karena sebagian kita tidak percaya bahwa rejeki ada pada proses ketika panen belumlah tiba. Rejeki bukan dari sawah, bukan dari kantor dan bukan dari bisnis kita melainan dari Tuhan yang menyediakannya, Rejeki datang dari apa yang kita lakukan dengan hati tanpa harus malu besar kecilnya.

AN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun