Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merokok Akan Seperti Mencari Pokestop

21 Agustus 2016   12:58 Diperbarui: 21 Agustus 2016   20:18 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah puluhan tahun saya berhenti merokok. Untuk alasan kesehatan? Bukan. Karena rokok diharamkan? Juga bukan.

Dari perjalanan ke belahan dunia karena pekerjaan dan urusan pribadi, saya mendapatkan harga rokok luar biasa mahalnya. Di Inggris dan Singapura harga rokok sejak dulu mahal dan bahkan saat ini harga sebungkus rokok di London di kisaran Rp 160 ribuan. Di Australia lebih sadis, satu batang rokok harganya lebih dari US$ 1 atau kalo dirupiahkan sekitar Rp 210 ribu perbungkus.

Di Eropa menjadi perokok susahnya minta ampun. Merokok cuma dibolehkan di dalam mobil pribadi atau rumahnya sendiri. Pekerja kantoran atau pabrik harus menunggu waktu istirahat untuk berdiri di sepanjang jalan karena hanya di pinggiran jalan mereka diperbolehkan merokok. 

Di satu pusat industri di Grimsby UK pada saat awal pelarangan merokok diberlakukan, pekerja pabrik berjejer di pinggir jalan pada jam istirahat seperti penyambut karnaval, hanya untuk merokok satu dua batang. Susahnya jadi perokok! Menyiksa dan setiap saat harus mencari cara dan tempat untuk sekadar hasrat menghisap dan menghembuskan asap putih dari gulungan kertas yang membungkus tembakau dengan bara di ujungnya

Saya lalu berpikir seandainya hal ini akan diterapkan bertahun kemudian di negeri saya sendiri Indonesia. Harga rokok akan mahal dan tempat merokok akan seperti daerah dimana Pokemon stop berada. Tempat seperti itu akan diserbu dan dirubungi sekian banyak pemburu asap.

Sejak hari dimana saya merasa final dalam menganalisa bagaimana akan sulitnya merokok nantinya di Indonesia maka saya putuskan untuk berhenti merokok hari itu juga. Saya tak pernah berpikir merokok akan menyebabkan kematian lebih cepat karena seorang lelaki tua yang saya temui di pinggir stasiun Beos saat makan mie ayam disana mendeclare bahwa usianya mendekati delapan puluh tahun sambil menceritakan hal itu dalam hembusan nafas bercampur asap rokok kretek. 

"Hidup mati itu sudah ditentukan sing maha kuasa mas!" Katanya penuh tekanan meyakinkan. Saat itu baru beberapa bulan saya menghentikan kebiasan merokok satu dua bungkus sehari.

Ya, memang yang membuat saya berhenti merokok memang bukan faktor kesehatan tetapi semata faktor Ekonomi dan manfaatnya. Yang membuat saya semakin bulat berhenti adalah ketika berbincang dengan beberapa teman menjelang hari raya kurban. Dalam posisi sebagai perokok pasif saya terlibat dalam perbincangan tentang hewan kurban.

Dari lima teman perokok hanya satu yang tahun itu berniat membeli hewan kurban. Selebihnya mengeluh tak mampu membelinya karena tak ada uang tersisa.

"Untung bini gue kerja, jadi bisalah beli kambing tahun ini!" salah satu teman yang berniat berkurban tahun itu memberikan alasan kemampuannya.

Saya melihat rokok di genggaman mereka masing-masing berlabel internasional, dengan harga yang rasanya setara dengan uang makan pekerja pabrik di Bekasi. Secara matematika saya tak perlu menghitung bagaimana jumlah harga rokok itu dihitung dalam setahun apakah cukup untuk membayar harga  seekor kambing. Tapi sudahlah, itukan urusan mereka sendiri. Uang-uang mereka sendiri. Saya lebih memilih mempersiapkan diri jika satu saat nanti rokok menjadi barang yang mahal dan sulit dihembuskan di tempat yang kita mau di negeri sendiri.

Jika saya terus terjebak dalam kecanduan maka saya membayangkan berapa banyak effort, emosi dan uang yang harus saya keluarkan untuk menghadapi harga rokok yang melambung. Saya takut tak mampu melawan keinginan dan membayar berapa saja asal hasrat merokokok saya bisa diwujudkan. Nyatanya, kenyataan kenaikan rokok yang tinggi ternyata sudah di depan mata. Indonesia akan menjadi pertempuran pribadi antara keinginan dan kemampuan.

Saya sudah lama menjauhi pertempuran pribadi itu. Syukurlah! Jika tidak berhenti sejak dulu mungkin saya akan sibuk download game Pokemon lalu berkeliling dijam istirahat kerja supaya bisa melawan  keinginan untuk merokok. Mending begitu daripada tak mampu membeli hewan kurban.

 Oh Rokok... Oh Pokemon..Mbeeeeek.

 -AN-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun