Lebih dari setahun yang lalu, sosok tubuh Arcandra Tahar sebelum ditunjuk menjadi menteri ESDM lebih saya ingat dibanding mengingat  namanya yang juga unik. Tubuhnya yang ‘eye catching’:  kecil, rambut tipis yang mungkin habis karena suhu kepala yang tinggi akibat dipenuhi ide-ide luar biasa dan kemampuannya mempresentasikan  pilihan teknologi instalasi produksi oil and gas di lepas pantai  yang disebutnya sebagai McT (Multi Column Tension) mendadak mengingatkan saya akan dirinya sewaktu Presiden Jokowi mengumumkan namanya di Istana Negara.
Dari beberapa kali pertemuan di kantor kami saya hanya menghadirinya sekali dan secara samar masih mengingatnya sebagai sosok yang sangat percaya diri. Ia khusus datang dari Amerika serikat untuk memberikan pilihan bagi industry minyak ditanah air lewat ide-idenya. Ide yang ia miliki sekaligus patent yang dipegangnya cukup menarik untuk dijadikan alternative pengembangan lapangan migas dari segi fabrikasi, penempatan fasilitasnya dan kemudahan memobilisasi bila sewaktu waktu fasilitas produksi yang di designnya harus dipindah ke tempat lain.
Sekian banyak jalan yang dilaluinya untuk meyakinkan beberapa perusahaan yang tertarik dengan patentnya akhirnya berakhir pada tidak berhasilnya ia mendapatkan pengakuan dari regulator perminyakan di Indonesia. Meski teknologi McT dalam hitungan diatas kertas meminimalkan biaya pengembangan lapangan minyak baru dimasa depan tetapi ada faktor lain yang ia tak ingin ceritakan ketika akhirnya persetujuan terhadap usulan yang kami ajukan bersamanya ke pemerintah tidak mendapatkan tanggapan.
Saat setahun lalu sebelum menjadi menteri , kami tak melihatnya sebagai sosok yang kebarat-baratan. Bahasa dan caranya berbicara masihlah dominan gesture orang Indonesia, dan sayangnya ketika ia datang beberapa kali bertemu kami, Â tak ada yang sempat mengetahui apakah ketika ia datang menggunakan Passport Amerika atau Passport Republik Indonesia. Lagipula kami tak pernah menduga suatu saat ia akan menjadi menteri ESDM dan isu mengenai kewarga negaraannya menjadi trending topik di republik ini.
Terlepas dari anomali status kewarganegaraannya, kepintaran Arcandra Tahar yang ia peroleh dari menuntut ilmu dan pengalamannya menghidupkan roda korporasinya  sendiri di Amerika Serikat  tak diragukan lagi, itu mengapa nampaknya Presiden Jokowi pernah terkesan ketika bertemu di satu masa di Istana Negara sebelum menunjuknya menjadi menteri dalam kapasitasnya sebagai pakar yang  dimintakan bantuannya untuk mendapatkan nsehat teknis mengenai satu hal tentang industry perminyakan di Indonesia  persis dengan kami yang juga tertarik dengan porto folio yang dimilikinya.
Yang masih saya ingat adalah  remindernya mengenai shalat wajib usai meeting memberikan gambaran bahwa imannya  tidak luntur hanya karena pernah memegang Passport USA. Itu kenapa saya tak habis pikir  ketika netizen di medsos menyerangnya habis-habisan seperti layaknya Pak Tahar adalah monster kapitalis yang siap menghisap kepentingan sumber daya energy yang dimiliki Indonesia. Bahkan lucunya isu mengenai Freeport yang menyerang Arcandra sebagai menteri yang mengeluarkan Izin eksport dalam 20 hari masa kerjanya menjadi bulan-bulanan para pengamat yang nampak kelihatan tak mampu memahami perbedaan antara Izin eksport dan Izin Perpanjangan kontrak Freeport. Makian karena ketidak tahuan dalam hal yang mereka rutuki memperlihatkan bagaimana kebencian pada satu rezim membuat orang justru senang berbuat  dosa melahap orang yang belum tentu berdosa dengan sasaran isu yang tidak kredible menyebar virall seperti santet yang merusak kredibilitas orang yang pernah kenalpun tidak.
Beberapa penggal berita mengenai dirinya yang beredar saat ini adalah terfokus pada kesalahannya pernah memiliki dua passport  padahal selaku orang yang direkrut oleh Negara ia tak mungkin ikut mengurusi  bagaimana negara beserta perangkatnya melakukan proses kelayakannya dengan mengacu setiap pasal  undang-undang kementrian atau kewarga negaraan sehingga ia bisa diloloskan sebagai seorang mentri ESDM.
Yang sontoloyo adalah pihak yang  berada di sekitar Presiden Jokowi yang tentunya harusnya memahami bagaimana mereka seharusnya memberikan rekomendasi teknis, hukum dan  ketata negaraan pada setiap keputusan yang akan diambil oleh Presiden Republik Indonesia sebelum diputuskan. Para Kuda Troya disekitar Presiden secara perlahan sudah menunjukkan aktivitasnya dan sekarang pantaslah Presiden jokowi menjadi bulan-bulanan orang-orang yang berada di seberangnya.
Tak selamanya niat baik untuk memberesi sektor Migas  tempat saya mencari makan di republik ini bisa didukung semua pihak. Arcandra dan Jokowi sepenuhnya paham betul bahwa segala keputusan yang mempengaruhi hajat hidup para pemburu rente akan selalu menemui perlawanan yang luar biasa bahkan sebelum mereka mulai kerja. Gelombang besar itu akan menghantam siapa saja yang mencoba menggoyang posisi-posisi yang sekian tahun mencengkeram republik ini atas nama undang-undang atas nama peraturan negara.
Sudahlah pak Arcandra, kembalilah ke Amerika dan  nikmati hidupmu disana! Indonesia tak perlu orang pintar sepertimu!  Indonesia hanya perlu komentator di sosial media untuk menata urusan migas negeri ini tak perlu ada menteri.  Ilmu dan Paten dari Houston telah kalah telak oleh santet sosial media. Â
-AN-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H