“Kamu sudah berani untuk mendengarnya, ibu lihat kamu sedemikian takutnya?” ibu memandang saya untuk memastikan, saya mengangguk pelan.
“Ya..sepuluh butir tablet bodrex merenggut nyawanya, sayang sekali beliau sampai berbuat itu,” ibu menggeleng tak mengerti, saya tetap terpaku tak bersuara, sekali lagi kematian akibat bunuh diri memang begitu menghantui saya bila mendengarnya kala itu.
“Kamu tahu mengapa beliau berbuat itu, apakah hidup beliau lebih sulit dari hidup kita?” tanya ibu. Saya kembali menggeleng tetap terdiam.
“Lalu kenapa beliau berbuat itu?” jawab saya dengan pertanyaan.
Ibu melanjutkan kayuhan pada mesin jahitnya dan menyelesaikan beberapa potong agar tersambung sempurna, lalu ia menepis pakaian itu dan meletakkannya di lembar papan sebelah kanan mesin jahit. Ia bercerita bahwa sebentar lagi Pak Sodiran pulang dari tugasnya, kepulangan yang berbarengan dengan para kepala keluarga lainnya biasanya disambut dengan kebahagiaan luar biasa namun tidak bagi Ibu Sodiran. Kehidupannya nampak begitu baik tetapi dibalik itu tersimpan persoalan yang tak seorangpun mengiranya.
“Beliau takut bertemu suaminya” tutur ibu
“Takut?” sergahku.
“Ya, beliau takut Pak sodiran akan marah besar karena selama ini ia memiliki hutang yang tak sanggup ia bayar, entah hutang apa tetapi yang pasti hutang itu tentu akan dipertanyakan, dan beliau tak sanggup untuk menghadapinya. Beliau memilih mengakhiri hidupnya agar tak bertemu dengan suaminya, tak berani bercerita apa yang dialaminya. Hidupnya nampak lebih baik dari kita semua disini tetapi itulah rahasia masing-masing orang!” ibu menatap saya yang tengah tertegun.
“Pesan ibu, syukurilah apa yang kamu miliki dan tegarlah pada kekurangan yang kamu hadapi!”
Beberapa hari kemudian Pak Sodiran jatuh lunglai dimuka rumah, atas kepentingan dinas berita itu baru ia terima ketika kakinya menjejak bumi Jakarta. Kegagahannya yang terbentuk dalam kehidupan daerah konflik di hutan dan kota-kota yang mencekam, luluh pada kenyataan bahwa ia kehilangan istrinya hanya karena persoalan yang mungkin menurutnya bisa ia pahami dan maafkan. Hanya pelukan anak-anak yang masih kecil menyambutnya dengan tangis pilu seolah hendak mengadu pada ayahnya atas kehilangan sosok yang tak semestinya terjadi.
Tuhan menciptakan manusia pada tugasnya masing-masing, sementara orang lain terpaksa bertugas di medan perang untuk mempertahankan kehidupan, tetapi ada sebagian lain yang tak berani kemedan laga dan menyia-nyiakan kehidupan. Sampai kini, peristiwa bunuh diri masih merupakan peristiwa yang membersitkan ngilu, apapun alasan yang diambil oleh orang yang melakukannya. Tangis seorang tentara yang gagah berani beserta anak-anaknya memberi pelajaran bahwa hidup tak semestinya disia-siakan begitu dan bahagia tak semestinya dilihat dari apa yang seseorang miliki melainkan dari bagaimana seseorang mensyukuri apa yang dimiliki.
From the desk of Aryadi Noersaid
Tweet @aryadinoersaid