Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dua Sisi, Dua Ibu

12 Mei 2014   19:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:35 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dua dari banyak tugas yang begitu akrab pada masa kecil saya adalah mengantar pakaian jahitan ibu untuk Neci dan Obras. Mesin Neci dan Obras yang terlihat unik ketika di operasikan selalu menjadikan saya berharap agar ibu suatu saat bisa memilikinya dan saya tak harus mengayuh sepeda pergi kerumah Ibu Sodiran hanya untuk melakukan dua pekerjaan tersebut.

“Kenapa ibu tidak berusaha beli mesin Neci dan Obras, aku lihat begitu banyak pesanan yang bertumpuk di rumah Ibu Sodiran. Dia pasti banyak uang karena usahanya lumayan maju?” saya bertanya pada ibu ketika usai mengantar tiga pakaian yang selesai dikerjakan di tempat ibu Sodiran dengan peluh yang deras.

“Ibu tidak seberuntung beliau, meskipun sama-sama istri tentara yang kerap ditinggal suami beliau lebih gigih mencari peluang. Kamu doakan saja, atau paling tidak ibu bisa berharap kamu tahu bahwa nasib orang itu tidak ada yang sama. Semoga Allah memberikan kamu nasib yang baik kelak!” Ibu selalu menutup pendapat yang ia ungkapkan dengan doa bagi anak-anak dan orang lain yang meminta pendapatnya.

Ibu Sodiran mampu memperkerjakan dua pegawai di kios obras di samping rumahnya, sedang ibu menggerakkan putaran mesin jahit dengan kedua telapak kakinya. Mungkin Ibu betul, tak ada orang yang memiliki nasib yang sama dan itu mengapa ia tak hiraukan ketertinggalannya, namun ada sesuatu yang berbeda dari dua ibu yang sama-sama terbebani anak dan keluarga yang harus diasuhnya, tanpa didampingi suami yang harus bertugas di luar pulau sebagai tentara. Ibu sodiran nampak begitu gigih dan sulit sekali merasa nyaman, ditandai dengan keluhannya pada pegawai yang bekerja padanya. Ia nampak selalu khawatir pekerjaan tak akan terselesaikan ketika melihat setumpuk pesanan di atas meja beralas taplak bermotif bunga. Ia sering sekali mendesak dua pegawainya untuk lebih cepat menyelesaikan pekerjaan dengan rentetan ungkapan kekhawatirannya. Sedang Ibu, ia perempuan yang kerap menggeleng ketika datang pesanan menjahit dari orang yang tandang ke rumah, meski begitu irama kayuhan ibu terasa indah di malam hari namun menyayat hati ketika diselingi batuknya yang timbul karena lupa meneguk air putih saking sibuknya.

“Saya tidak bisa mengerjakan pakaian lebih dari empat potong dalam satu minggu, jadi maaf mbakyu daripada mengecewakan lebih baik ke tempat lain saja,” ibu selalu menolak dengan ungkapan yang sama pada setiap orang yang terpaksa ia kecewakan. Tetapi lebih banyak pemesan jahitan ibu rela menunggu pakaiannya dijahit minggu berikutnya sampai ibu menyanggupinya.

Jika saya datang mengantar pakaian untuk di obras, Ibu sodiran sering sekilas tersenyum pada saya ketika menerima pesanan dari Ibu. Karena ia mengenal ibu dengan baik, tak jarang ia meminta dua pegawainya mengerjakan pakaian dari genggaman saya lebih dahulu, lalu ia pergi meninggalkan rumah sekaligus kiosnya. Dua irama mesin yang berbeda, satu bertenaga mesin dan satunya bertenaga manusia, memberikan nuansa pada hasil yang ada. Rumah ibu sodiran lebih nampak berwarna di banding rumah kami yang berjarak tiga blok, juga beberapa hal yang tak kami miliki nampak dimiliki oleh ibu sodiran. Meskipun demikian ibu dengan nasehatnya tak memberi kesempatan pada saya untuk terbersit rasa kecewa pada apa yang dimiliki. Kami hidup tak mencukupi dengan baik namun semua kami nikmati dengan amat baik.

Masa tugas tentara memang menyesakkan bagi anak dan istri mereka, kadang berita kepulangan harus terevisi terus menerus karena keadaan yang sulit diduga. Hingga satu bulan menjelang satu batalyon hendak menyelesaikan tugas, tak ada satupun yang bisa memastikan apakah berita itu betul adanya sampai berita itu betul terpastikan satu minggu sebelum kedatangan pasukan. Meski ayah ketika itu tak sedang bertugas, saya ikut larut dalam kegembiraan teman-teman yang lain.

Satu pagi ibu kembali meminta saya untuk mengantar pakaian ke rumah Ibu sodiran dan saya mengayuh sepeda dengan cepat, karena biasanya ibu tak jarang memberi saya sedikit uang jajan untuk sekedar membeli makanan di warung sebagai upah. Ketika menggeser kemudi sepeda dipertigaan tempat tujuan, suara tangis membahana. Saya melihat kerumunan orang dengan wajah yang terkejut dan tampak tak percaya. Saya menghentikan laju sepeda dengan rem torpedonya dan menghempaskannya ke tanah ketika mendengar seorang perempuan berlari menjauh dan berteriak: “ Ibu Sodiran Mati bunuh diri..Ibu sodiran Mati Bunuh Diri!”.

Mendengar kalimat bunuh diri memberikan kengerian pada hati saya, saya membalikkan sepeda dan pergi menjauh. Kala itu ibu dan ayah selalu bilang bahwa kematian akibat bunuh diri menyisakan kengerian pada semua orang, dibumbui dengan cerita teman-teman kecil yang mengatakan kematian itu akan memunculkan hantu yang bergentayangan. Saya mengayuh sepeda dan mengabarkan pada ibu ketika tiba dirumah. Ibu terduduk kaget dan mengucapkan “ Innalillahi Wa inaillaihi Rojiun” lalu ia bergegas mengambil kerudung dan menyambangi setiap rumah tetangga untuk mengajak segera ke rumah Ibu Sodiran.

Saya menutup kuping rapat-rapat, dan tak ingin mendengar cerita itu lebih lanjut karena kengerian saya pada peristiwa bunuh diri. Hari itu meski belum tiba jadwal jam sekolah, saya memilih pergi dan mendatangi sekolah lebih awal. Terbayang senyum ibu sodiran yang entah mengapa membuat saya kian ngeri mengingatnya. Dua malam saya tak ingin mendengar dari ibu meski tahu bahwa ibu ingin sekali bercerita tentang peristiwa itu.

“Apa yang terjadi dengan Ibu Sodiran, apakah betul beliau bunuh diri?” tanya saya spontan ditengah menemani ibu yang tengah mengayuh mesin jahitnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun