Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekeping Uang, Setara Harga Diri

12 September 2014   18:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:53 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap minggu pagi, saat ayam jantan berkokok dari kandang ayam belakang rumah tetangga,  ibu terbiasa membangunkan saya. Ketika embun meretas di daun-daun jambu air halaman rumah, dikala itulah saya melaburkan kepala dengan air yang dipompakan sendiri melalui pompa tangan ‘Dragon’, bolak balik mengejar air  dari tongkat pengungkit yang saya gelantungi karena tubuh yang kecil agar air bisa terpompa,menuju ujung pipa tempat air mengalir.

Saya membayangkan tengah mandi dari shower mewah, betapa repotnya memang, namun di pagi sedingin itu siraman air langsung dari dalam tanah jauh lebih hangat ketimbang mengguyurkan tubuh dari air yang terkumpul di dalam kolam di kamar mandi.

Ibu menyediakan bonus sarapan pagi kesukaan saya berupa tumis tempe yang ditemani dengan sambal cabai rawit hijau. Saya dan ibu memang penggemar cabai, sepagi apapun dalam perut yang kosong sambal cabai rawit bukan masalah buat perut kami, bahkan hingga kelak saya besar setelahnya.

Pagi  itu, saya bukan diajak piknik atau tamasya,beliau lebih memilih saya dibanding kakak atau adik saya dengan alasannya sendiri untuk menemaninya pergi  ke cipete mengantarkan sekaligus mengambil kembali pakaian konveksi yang ibu kerjakan di rumah.

Ibu mendapat upah beberapa puluh  rupiah untuk setiap potong pakaian anak-anak yang ia rangkai dengan jahitan dari mesin jahit evergreen di ruang tengah. Adik dan kakak mengambil alih tugas ibu membereskan rumah dan lainnya, mereka semua tahu apa yang harus dikerjakan masing-masing.

“Kenapa ibu selalu mengajak aku setiap ke konveksi, bukan yang lain?” Tanya saya suatu hari.

“Karena kamu pandai berhitung,ibu tak perlu bawa mesin hitung karena kamu jauh lebih cepat menghitung kalauibu mendapat upah jahitan konveksi!” ibu tersenyum menggoda.

Saya memang selalu tahu berapa jumlah yang akan ibu dapatkan dengan mengalikan pakaian yang bisa ibu rangkai dari potongan menjadi pakaian utuh dan bisa menebak jumlah isi dompet ibu setelah mendapat upahnya bahkan menghitung setiap pengeluaran ibu selama di jalan, diluar kepala.

Pagi itu, ibu hanya berbekal uang tujuh puluh lima rupiah. Lima puluh rupiah ia gunakan untuk membayar bis kopaja,berdua. Perjalanan lancar hingga tiba di tepian jalan fatmawati sebelum kami memasuki   jalan gotong royong yang bersisian dengan Jalan Haji nawi.

Tas kain besar berisi pakaian yang sudah jadi,digamit ibu di bahu kirinya hingga tubuh kecil saya yang berjalan berdampingan kadang terpental-pental berbenturan dengan tas itu. Seribu tiga ratus sepuluh langkah minimal harus saya ayunkan untuk tiba ke pengusaha konveksi itu dari jalan fatmawati raya, langkah ibu mungkin kurang dari itu karena ia memiliki langkah yang lebih jauh dibanding anak SD seperti saya.

“Berapa langkah kamu ayunkan hari ini?” ibu menggoda lagi.

“Cuma beda enam langkah, minggu depan cari jalan yang lebih kurang dari ini ya bu!” jawab saya. Ibu hanya tersenyum,peluhnya yang mengalir  melambangkan perjuangan selalu membekas di ingatan dan menguatkan semangat saya bahkan hingga hari ini.

Tiba dimuka rumah pengusaha konveksi, satu keluarga dari tanah minang yang gigih membuka usaha supplypakaian ke tanah abang dan beberapa sentra pakaian, ternyata tak ada satupun orang yang ada didalam. Pintu dengan lonceng kecil yang tertiup angin berkali-kali diketuk namun tak ada yang membuka. Biasanya suara mesin obras dari dalam rumah terdengar nyaring, namun kali itu semua sepi.

“Mereka pulang ke Padang, orangtuanya sakit keras!” seorang perempuan memberitahu kami ketika melihat ibumengetuk untuk kesekian kalinya. Ibu demikian masygul, ia meletakkan tas berisi pakaian jahitannya ke teras rumah dan duduk sambil menatap wajah saya. Lama ibu terdiam dan lupa berterima kasih pada orang yang memberitahu. Saya tak ingin bertanya, karenasaya mengerti betul apa yang ibu pikirkan. Dari rumah kami hanya berbekal uang tujuh puluh lima rupiah, dan kini ibu hanya menggenggam uang dua puluh lima rupiah. Lima puluh rupiah sudah habis untuk ongkos kopaja ketika berangkat.

“Kita pulang!” ibu bergumam singkat, getir. Mestinya pagi itu ibu sudah mengantungi uang dari hasil jahitansebanyak tiga puluh lima potong pakaian, yang ia kerjakan selama satu minggu.  Kami bergegas pulang dan saya tak ingin menghitung lagi langkah, karena tak ada lagi yang membuat semangat seperti kebiasaan ibu mengajak saya menikmati semangkok bakso dipasar blok A sebelum kembali kerumah.

Sebuah kopaja datang, detakan uang logam dari jendela kaca sang kondektur memekakkan telinga mengiringilangkah kami menuju tangga bus kota yang hingga kini tak pernah mambaik kwalitasnya. Mobil hijau itu menyusuri jalan fatmawati dan berbelok ke kiri menuju cilandak.Kondektur menagih uang ketika bus meliuk liuk dijalan yang berkelok, Ibu menyerahkan uang dalam dompetnya yang hanya dua puluh lima rupiah.

“Inikan berdua….Kurang!” sang kondektur melotot.

“Maaf bang, uang saya tinggal segitu, nggak lebih..maaf ya!” ibu meminta pengertian, namun tiba tiba ..”Klotaaak!”.Logam kecil itu dibanting kelantai dan menggelinding lalu jatuh ketepian jalan, sementara kopaja terus melaju.

Ibu kaget, juga saya,namun ibu amat tenang,meski gundah ia berdiri dari kursi, mengambil tas bawaaanya lalu mengajak saya turun. Saya melotot tajam pada kondektur yang menghinakan kami, namun apa dayasaya hanya seorang anak kecil, Ingin rasanya saya mencabik-cabik wajah lelaki muda itu dan membantingnya seperti uang logam yang ia hempaskan kelantai busnya.

“Kenapa turun bu, nanti naik apa?”Tanya saya

Ibu menatap tajam dan meminta turun. Kami terombang-ambing antara gas dan rem, dan kopaja berhenti dengan bunyi mulut bersungut-sungut dari sang kondektur. Ibu menatap tajam tanpa mengeluarkan kata-kata dan Kami menjejakkan langkah ketanah, berdiri dipinggir jalan di pagi yang mulai terik.

“Sekarang kita gimana?” tanya saya dipinggir jalan.

“Kita cari uang dua puluh lima rupiah tadi, kamu hafal dilemparnya dimana?” saya mengangguk dan berlariberlawanan arah.

Tak mudah mencari uang itu, ia menggelinding liar dari lantai kopaja dan saya ingat persis jatuh di tikunganterakhir. Bagai pemulung kami mengais-ngais tempat dimana uang jatuh dan beberapa kali hanya mendapati tutup seven-up dan green spot bergeletakkan disana.

Setengah jam lebih kami  kesana kemari hingga menemukan juga uang duapuluh lima rupiah tadi. Entah itu uang yang dilempar oleh kondektur atau uang orang lain yang jatuh, atau Tuhan mengirimkan uang itu kepada kami.

“Kita tak boleh tetap di bus itu,karena kita bukan orang yang layak menaikinya. Si pemilik bus tidak mau kita disana dan mereka tak rela kita disana, jadi kita harus cari pemilik bus yang rela menerima uang kita!” ibu mengelus dahi saya ketika saya bertanya kenapa kita berkeras menemukan uang itu kembali.

Di dekat warung disebelah timur,kami melihat sebuah kopaja dengan jurusan yang sama sedang berhenti    menanti penumpang, Ibu menghampiri danmeletakkan tasnya ketepi aspal.

“Bang, saya mau ke Cilandak, tapi uang saya hanya dua puluh lima rupiah, saya boleh ikut berdua anak saya?” Tanya ibu pada kondektur yang sibuk meracau dengan teriakan-teriakan memanggil penumpang. Sejenak kondektur menatap kami berdua, dan melihat peluh yangmengalir di tubuh kami.

“Naik..naik..naik…Cilandak..Cilandak..Cilandak!”ia berteriak-teriak kembali dan nampaknya mau mengerti keadaan kami. Kami bergegas naik dan menduduki kursi besi paling belakang, Ketika bus berjalan, kondekturmenerima uang ibu tanpa bantingan maupun makian, bus terus melaju  menuju rumah kami, tanpa uang tersisasepeserpun di dompet ibu.

“Jangan pernah ceritakan pada ayah kamu tentang peristiwa  tadi!”perintah ibu.

“Kenapa?” Tanya saya.

“Ayahmu pasti akan marah danmenembak kepala kondektur tadi!” Ibu menatap serius. Pasti ayah akan murkaistrinya diperlakukan sedemikian rupa jika tahu, karena bus itu lewat depanperumahan kami setiap hari dan sangat mudah menghapal kondektur  yangmemperlakukan kami berdua jika ingin menuntut balas.

“Sudahlah, jika kamu tak punyauang, bukan berarti kamu tak punya harga diri, persoalannya sudah selesai, kitasudah sampai di rumah, sekarang tinggal bagaimana ibu mencari cara untuk mendapat uang tambahan lagi!” Ibu yang amat saya cintai berusaha mendamaikan hati saya yang sebetulnya teramat panas oleh amarah yang mendidih, amarah seorang anak kecil yang memendamnya bertahun-tahun mencari jawaban mengapa ibu bisasedemikian sabarnya.

Lama saya menemukan jawaban peristiwa itu, dan yang saya dapat adalah kesabaran yang dibarengi dengan tindakan selalu menolong dalam setiap menghadapi persoalan. Dan yang jauh lebih dalam adalah,ibu mengajarkan kepada saya tanpa sengaja bahwa setiap apapun yang melibatkan harta dan uang, Muamalah adalah teramat utama. Kita harus memberitahu kondisi kita dengan jujur kepada sejawat bisnis kita dan bersepakat di awal agar tidak membuat perselisihan ketika sesuatu perkara sudah dijalankan.

“Jangan berlagak kaya bila tidakkaya, jangan berlagak miskin jika tidak miskin, orang lain akan mengerti kamu jika kamu bicara apa adanya, dan tak nampak ingin membebani orang yang kamu ingin iamengerti, segala resiko setelahnya serahkan saja kepada Tuhan!” kalimat ini tak muncul dari mulut ibu, tapi saya menangkap dari apa yang ibu lakukan ketika kami terusir dari dalam bis kota itu.

Hingga ayah dan ibu tiada, kamitak pernah menceritakan itu pada ayah karena memang tak ada gunanya, hanya saja selalu ada desiran amarah dalam hati saya ketika melihat sosok kopaja jurusan yang sama melintas dihadapan saya hingga kini.

Jiwa  saya memang tak sebesar jiwa Ibu.



-Remake Catatan tepi Ary noer-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun