Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara, baik dari segi jumlah penduduk maupun perekonomian. Dalam dekade terakhir, ekonomi Indonesia terus tumbuh, dengan kemiskinan secara keseluruhan turun 8 persen dari 2007-2019. Meski demikian, Indonesia masih memiliki 105 juta penduduk yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan nasional.
Jadi, dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan angkatan kerja sebanyak 138,22 juta orang di tahun 2020, mengapa Indonesia miskin?
Pertama, dari sisi geografi, Indonesia rentan terhadap berbagai macam bencana alam, seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami. Pada tahun 2004, gempa bumi berkekuatan 9,1 yang mematikan melanda di Samudera Hindia dekat Indonesia, memakan korban 230.000 jiwa dan membuat puluhan ribu lainnya mengungsi.Â
Masyarakat seperti Banda Aceh juga mengalami kerusakan lingkungan dan infrastruktur yang besar dan berjangka panjang, yang menyebabkan situasi darurat yang meluas di wilayah tersebut. Dalam mengajukan pertanyaan "mengapa Indonesia miskin?", Peristiwa seperti ini dapat menjadi salah satu faktor yang paling berkontribusi langsung.
Selain itu, ketika seseorang bertanya "mengapa Indonesia miskin?", Kita harus mempertimbangkan pergeseran demografis. Indonesia saat ini menghadapi populasi hampir 50 juta yang hidup tanpa listrik, sama dengan sekitar 20 persen dari populasi nasional. Sementara 94 persen penduduk perkotaan memiliki akses ke listrik, hanya 66 persen penduduk pedesaan yang memilikinya.
Selain itu, pertumbuhan lapangan kerja telah berada di belakang tingkat pertumbuhan penduduk, menyebabkan banyak pekerja muda berbadan sehat tanpa pekerjaan. Dengan sekitar 2,36 juta orang memasuki angkatan kerja setiap tahun, pasar kerja Indonesia harus terus berkembang untuk memenuhi permintaan ini.
Disamping itu, yang menjadi menarik adalah budaya yang tumbuh di masyarakat Indonesia tentang konsep kemiskinan menjadikannya budaya yang tanpa disadari terbenam dibenak kebanyakan orang Indonesia, Pernyataan ini disampaikan oleh Antropolog Amerika Clifford Geertz
Budaya dan Kemiskinan
Sejalan dengan temuan Geertz, penelitian terbaru yang dilakukan Geertz menemukan bahwa budaya masih memainkan peran utama di kalangan masyarakat miskin Indonesia, khususnya di Jawa. Kami menemukan penerimaan masyarakat terhadap kemiskinan adalah hambatan terbesar untuk memberantas kemiskinan di Yogyakarta dan Banten, keduanya di pulau Jawa terpadat di Indonesia.
Sebagai contoh Yogyakarta, yang jaraknya hanya sekitar 500 kilometer dari ibu kota Indonesia Jakarta, adalah provinsi termiskin di Jawa. Angka kemiskinannya mencapai 11,81 persen, lebih tinggi dari angka nasional.
Kemiskinan di Pulau Jawa banyak terkait pada sektor pertanian. Banyak orang tidak bisa mendapatkan pekerjaan setelah musim panen. Pada tahun 2019, tingkat pengangguran pasca panen mencapai 15,4 persen, lebih tinggi dibandingkan saat musim panen 13,7 persen. Kurangnya keterampilan dan pendidikan membuat mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan lain di luar pertanian.
Penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, melakukan penelitian lapangan di Kabupaten Serang dan Pandeglang di Banten dan Yogyakarta, serta Kabupaten Gunung Kidul di Yogyakarta, dari tahun 2015 hingga 2017 untuk mengidentifikasi faktor non-ekonomi penyebab kemiskinan.
LIPI memilih kedua provinsi ini karena tingkat kemiskinannya yang tinggi dan nilai budaya yang kuat dari masyarakatnya. Kami memberikan kuesioner kepada 1.198 peserta sasaran dan melakukan wawancara mendalam dengan 20 rumah tangga. Penelitian kami menemukan bahwa sikap fatalistik orang-orang telah mencegah mereka keluar dari kemiskinan. Sebagian besar responden kami percaya bahwa menjadi miskin adalah takdir Tuhan, dan tidak ada yang dapat mereka lakukan.
Penting untuk dipahami bahwa setiap provinsi mungkin menghadapi masalah kemiskinan yang berbeda karena setiap daerah memiliki masalah kemiskinan yang berbeda-beda. Masalah tersebut antara lain kurangnya akses ke layanan publik dan sumber daya alam yang langka. Penelitian LIPI menyarankan pemerintah mengadopsi pendekatan sosial dan budaya untuk memahami keseluruhan masalah kemiskinan di suatu wilayah.
Memahami kemiskinan harus dimulai dengan mengidentifikasi hubungan antara manusia dan lingkungan sosialnya. Distribusi bantuan sosial mungkin tidak cukup untuk mengurangi kemiskinan di provinsi-provinsi di mana kemiskinan merupakan masalah budaya. Sebaliknya, pemerintah daerah dapat membuat program untuk melatih dan memberdayakan masyarakat pedesaan. Pemerintah juga harus mengakui aset lokal sebagai solusi untuk kemiskinan. Misalnya, daerah pedesaan bisa fokus pada program-program yang mengolah tanahnya agar lebih berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H