Refleksi minggu 10 Oktober 2015 – Kekuasaan menumbuhkan arogansi menimbulkan kesombongan dan mengakibatkan kekalahan:
Tulisan ini saya tujukan kepada elit parpol di Indonesia khususnya bagi yg anggotanya/fraksinya menjadi inisiator perubahaan RUU KPK yang substansi perubahannya dinilai oleh sebagian masyarakat, termasuk saya, akan melemahkan KPK dalam bidang pemberantasan korupsi.
Menurut hemat saya apa yg dilakukan oleh para inisiator itu tentu sepengetahuan fraksi dan tentu saja partainya sendiri tapi yang saya sangat tidak paham mengapa para pemikir strategis partai atau para inisiator itu sendiri sepertinya tidak melakukan kajian mendalam tentang dampak dampak apa saja yang akan muncul dengan adanya gerakan atau aksi yang dilakukan oleh para elit partai baik yg ada di dewan maupun dalam internal organisasi partai.
Mestinya dilakukan analisa yang mendalam dan tepat yang salah satunya adalah apa reaksi masyarakat apabila muncul inisiatif ataupun pernyataan pernyataan dari elit itu. Masyarakat disini tentunya harus mewakili rakyat sebanyak banyaknya bukan hanya rakyat dalam versi sesedikit mungkin karena mereka tetap rakyat pula. Ini yang harus diketahui oleh siapapun yang mau berkarya untuk negeri ini dalam bidang politik demikian pula yang memantapkan diri untuk berkarya dalam bidang non politik.
Karena dari dulu sampai sekarang berkarya sebagai tenaga kerja saya juga dituntut untuk menjadi professional dalam bidang tersebut dan salah satunya dengan melakukan kajian mendalam (SWOT) akan suatu kebijakan atau keputusan yang dilakukan sehingga saya setidaknya mengetahui dampak positif dan negatifnya sehingga menjadi alat bagi saya untuk meminimalkan resiko dari sisi negatifnya.
Hal seperti ini seharusnya dilakukan oleh para inisiator perubahan RUU KPK yang oleh sebagian orang dimaknai sebagai pelemahan KPK sebagai institusi yg saat ini dipercaya oleh sebagian masyrakat melebihi kepercayaan pada institusi penegak hukum lainnya.
Karena 30% dari inisiator ini datang dari fraksi PDIP maka hal ini mengingatkan saya pada kemenangan fenomenal PDIP pada pemilu 1999. Sepertinya saat itu PDIP menjadi ‘mabuk’ dengan kekuasaan sehingga lupa dengan kewajiban politik yg diambilnya berupa pengingkaran pada janji janji kampanye yg berujung pada kekecewaan masyarakat sehingga PDIP dihukum pada pemilu 2004 dengan kekalahan yang fenomenal pula.
Apa yang dilakukan oleh PDIP ternyata diulang pula oleh PD pada periode pemilu yang kedua setelah menang di 2005 dimana 3 elitnya yang wajahnya terpampang dispanduk, baliho dan iklan2 televisi mengangkat tangan dan mengatakan ‘Tidak pada korupsi’ ternyata menjadi pesakitan dipenjara oleh KPK karena korupsi.
PDIP menang, meski tidak fenomenal pada 2014, dan sepertinya mereka akan mengulang apa yang dilakukan pada saat menang di 1999 saat ini yang terlihat dari pengingkaran mereka pada komitmen pemberantasan korupsi dan melemahkan institusi yang selama ini dipercayai dan kelihatan kinerjanya dibanding institusi penegak hukum lainnya.
PDIP merasa punya kuasa untuk menjalankan agenda agenda yg memang menjadi suara sebagian rakyat yg pro korupsi, karena tidak tertutup sebagian kecil rakyat yang pro kurupsi menagih janji pada para wakilnya, namun sebagai parpol PDIP mestinya harus bekerja untuk sebagian besar masyarakat yang saya percayai pasti anti korupsi.
Kondisi punya kuasa ini membuat sebagian anggota PDIP dan koalisnya menjadi arogan sehingga tidak mau melakukan kajian2 mendalam tentang dampak buruk dari tindakan2 yang akan dan sudah dilakukan karena mereka sudah dikuasai dengan kesombongan sehingga menjadi pongah dan ini terlihat dari sikap sebagian anggotanya yang tetap akan melanjutkan revisi RUU ini bahkan dengan target sampai akhir Desember harus selesai.
Apakah PDIP tidak belajar pada saat dihukum oleh rakyat pada pemilu 2004? Apakah arogansi dan kesombongan 1999-2004 yang mengakibatkan kekalahan itu tidak diingat lagi? Apakah hukuman pada Partai Demokrat pada pemilu 2014 tidak dapat dijadikan sebagai pengalaman untuk tidak menirunya?
Saya ingin bertanya dimana kehebatan para pemikir strategis partai karena ini akan berdampak buruk bagi partai yang sebentar lagi akan mengikuti pilkada serentak tahun ini? Apakah kalian sudah berhitung bahwa rakyat tidak perlu menghukup PDIP dan koalisi pembunuh KPK pada 2019 tetapi pada pilkada serentak akhir tahun ini?
Saya setidaknya sudah berbicara dengan beberapa orang di Solo, Jogja, Semarang dan kami sudah sepakat apabila PDIP tidak memerintahkan anggotanya mencabut revisi RUU KPK yang melemahkan maka kami tidak akan mendukung calon dari PDIP dan bila sebagian besar rakyat berpikiran seperti saya maka PDIP akan melihat hukuman itu pada hasil pilkada Bupati/walikota 2015 ini.
Kalian sebagi parpol begitu mudah lupa namun saya dan sebagian rakyat tidak lupa dan itu sudah terbukti pada kekalahan telak PDIP tahun 2004 dan PD pada 2014. Apakah anda akan mengulanginya lagi terperosok dilobang yang sama? Ada kata bijak mengatakan ‘Terperosok pada lubang pertama kali bisa jadi itu sebuah kecelakaan tetapi terperosok lagi pada lobang yang sama adalah kebodohan”.
Saya menulis surat ini karena benci dengan korupsi namun apabila ada yang setuju dengan korupsi dan mendukung pelemahan KPK maka pilihan tsb saya hormati namun dilubuk hati yang paling dalam saya berdoa agar dibuka nuraninya karena tidak halal menjalani kehidupan ini dari ‘rejeki’ hasil korupsi uang rakyat.
Semoga Tuhan memberkati negara ini dan membuka hati agar para Pemimpin benar2 bekerja dengan tulus untuk kesejahteraan rakyatnya. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H