Konflik Gaza adalah konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, khususnya di wilayah Gaza. Konflik ini memiliki akar sejarah yang kompleks dan melibatkan berbagai faktor politik, sosial, dan ekonomi. Relevansinya dengan Teori Pasca-Kolonial terletak pada konteks sejarah kolonialisme dan keberagaman yang mempengaruhi konflik ini. Teori Pasca-Kolonial adalah pendekatan teoretis yang mempelajari dampak dan warisan kolonialisme terhadap masyarakat dan budaya di negara-negara yang pernah dijajah. Teori ini menyoroti ketidaksetaraan kekuasaan antara negara-negara kolonial dan negara-negara yang dijajah, serta dampaknya terhadap identitas, politik, dan ekonomi pasca-kolonial.
Tentunya dalam konteks konflik Gaza, Teori Pasca-Kolonial dapat membantu memahami bagaimana sejarah kolonialisme dan penjajahan mempengaruhi dinamika konflik antara Israel dan Palestina. Konflik ini dapat dilihat sebagai bagian dari upaya pembebasan dan perlawanan terhadap penjajahan yang berlanjut hingga saat ini. Orientalisme adalah konsep yang dikembangkan oleh Edward Said, seorang intelektual Palestina-Amerika, dalam bukunya yang terkenal berjudul "Orientalism" yang diterbitkan pada tahun 1978. Orientalisme merujuk pada cara Barat memandang, memahami, dan merepresentasikan dunia Timur atau "Orient".
Menurut Said, orientalisme bukan hanya deskripsi objektif tentang Timur, tetapi juga merupakan praktik kekuasaan yang menjustifikasi dominasi kolonial. Orientalisme melibatkan penggambaran yang dipenuhi oleh orientalis, yang melihat Timur sebagai bangsa keterbelakang, konservatif dan tertinggal.Tentunya juga bagaimana cara pandang dan representasi Barat terhadap Timur yang didasarkan pada stereotip dan klaim superioritas. Orientalisme melibatkan proses konstruksi dan pemahaman tentang budaya, agama, dan tradisi Timur yang sering kali tidak akurat dan bias.
Dalam pendapatnya, Edward Said mengkritik orientalisme sebagai bentuk pengetahuan yang tidak netral dan objektif, tetapi dipengaruhi oleh stereotip dan prasangka Barat terhadap Timur. Pada akhirnya merupakan bentuk pengetahuan yang dibentuk oleh kekuasaan politik dan dominasi. Ia menekankan pentingnya memahami perspektif dan pengalaman orang-orang Timur yang dalam konteks ini timur tengah dan muslim dalam memahami budaya dan sejarah mereka sendiri. Â
Konflik di Gaza memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Salah satu akar konflik ini adalah sengketa wilayah antara Israel dan Palestina. Pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusulkan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara, yaitu Israel dan Palestina. Namun, proposal ini ditolak oleh negara-negara Arab dan terjadi perang antara Israel dan negara-negara Arab pada tahun 1948. Akibat perang tersebut, wilayah Palestina terbagi menjadi beberapa bagian, termasuk Gaza yang dikuasai oleh Mesir.
Pada tahun 1967, Israel berhasil merebut kembali wilayah Gaza dan Tepi Barat dalam Perang Enam Hari. Sejak itu, Israel mengendalikan wilayah tersebut dan memulai pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Gaza. Konflik antara Israel dan Palestina terus berlanjut, dengan serangkaian serangan dan konfrontasi antara kedua belah pihak. Berlanjut pada tahun 2005, Israel menarik pasukannya dari Gaza dan menyerahkan kendali wilayah tersebut kepada Otoritas Palestina. Namun, konflik terus berlanjut, dengan serangan roket dari kelompok militan Palestina di Gaza dan serangan balasan dari Israel. Konflik ini telah menyebabkan banyak korban jiwa dan kerusakan infrastruktur di wilayah tersebut.
Media Barat sering kali melaporkan konflik di Gaza dengan sudut pandang yang tidak seimbang, dengan fokus pada kekerasan dan terorisme yang dilakukan oleh kelompok militan Palestina, sementara mengabaikan konteks politik dan sosial yang melatarbelakangi konflik tersebut. Orientalisme juga dapat terlihat dalam penggambaran yang sering kali memperkuat citra negatif tentang masyarakat dan agama Islam. Penerapan orientalisme dalam peliputan media Barat terhadap konflik di Gaza dapat mempengaruhi persepsi dan pemahaman masyarakat internasional tentang konflik tersebut. Hal ini dapat memperkuat stereotipe dan prasangka yang ada, serta mempengaruhi kebijakan luar negeri Barat terhadap Gaza. Orientalisme dapat mempengaruhi prioritas dan pendekatan kebijakan luar negeri Barat terhadap konflik tersebut. Orientalisme juga dapat mempengaruhi sikap dan tindakan Barat terhadap pihak yang terlibat dalam konflik, serta mempengaruhi upaya mediasi dan penyelesaian konflik. Agar konflik Israel dan Palestina tidak berkepanjangan.Â
Israel dilaporkan tengah menyiapkan langkah untuk menutup Al Jazeera, media yang dibiayai Qatar, karena peliputannya di Gaza dinilai membahayakan persepsi dunia internasional terhadap Israel. Serangan Israel terhadap tempat perlindungan milik lembaga kemanusiaan Dokter Tanpa Batas (MSF) di Jalur Gaza pada 20 Februari 2024, menyebabkan setidaknya dua orang tewas, telah mendapat liputan besar-besaran dari Al Jazeera. Setelah itu dikecam banyak negara.
Banyak media Barat dituduh melegitimasi kejahatan perang Israel di Gaza. Merebitkan klaim yang tidak berdasar, hanya menceritakan satu sisi cerita, dan menggambarkan warga Palestina sebagai objek di tangan Hamas adalah beberapa kesalahan yang dilakukan media Barat. Organisasi-organisasi media Barat juga dituduh tidak memanusiakan warga Palestina dan melegitimasi pelanggaran Israel terhadap hukum internasional Media terkemuka seperti New York Times dan Washington Post dituduh menerbitkan berita yang bias terhadap warga Palestina dan mendukung Israel. Konflik Berkelanjutan: Pejabat militer senior Israel menyatakan bahwa pertempuran di Gaza kemungkinan akan berlanjut hingga akhir tahun 2024, dengan pembentukan brigade tambahan oleh militer Israel.
Pengaruh orientalisme terhadap identitas dan perlawanan Palestina cukup signifikan. Orientalisme telah membentuk narasi yang menggambarkan Palestina dan warganya sebagai subjek pasif yang terjajah, bukan sebagai agen aktif dengan aspirasi politik dan sosial mereka sendiri. Ini mengakibatkan resistensi Palestina sering kali direduksi menjadi tindakan kekerasan tanpa akar sejarah atau politik yang jelas. Namun, dalam kenyataannya, perlawanan Palestina adalah respons terhadap penjajahan dan penindasan yang telah berlangsung lama, dan merupakan ekspresi dari identitas nasional dan keinginan untuk merdeka d=.
Dalam konteks ini, orientalisme tidak hanya mempengaruhi bagaimana Palestina dilihat oleh masyarakat internasional, tetapi juga bagaimana Palestina memandang diri mereka sendiri dan perjuangan mereka. Perlawanan terhadap narasi orientalis telah menjadi bagian dari pembentukan identitas Palestina, di mana mereka berusaha untuk merebut kembali representasi diri mereka dari tangan narasi Barat yang sering kali menyederhanakan dan mendistorsi