Pembredelan ini menuai reaksi keras dari berbagai pihak, mulai dari seniman, aktivis, hingga akademisi. Ketua Aliansi Seni Merdeka, Indira Wibisono, menyebut tindakan ini sebagai bentuk kemunduran demokrasi. "Kritik dalam seni adalah napas kebebasan berpendapat. Jika seni dibungkam, apa lagi yang tersisa untuk rakyat?" tegasnya.
Media sosial pun ramai dengan tagar #BebaskanSeni dan #JokowiWajahNegara, yang mencerminkan kekecewaan publik terhadap pembredelan ini. Beberapa pengamat politik bahkan mengaitkannya dengan ketegangan jelang pemilu 2024, di mana mantan presiden masih dianggap sebagai figur sentral yang memengaruhi konstelasi politik.
Bagaimana Nasib Pameran dan Pesan yang Tersampaikan?
Yos Suprapto kini berencana memindahkan karyanya ke galeri lokal sebagai alternatif. Menariknya, di tengah kontroversi ini, 1-2 karyanya justru laku terjual kepada kolektor seni, menegaskan bahwa pesan seni tetap menemukan jalannya. "Ini adalah cerminan dari apa yang saya gambarkan dalam karya-karya saya: kekuasaan yang takut terhadap kritik. Jika mereka ingin membungkam seni, maka seni akan mencari jalannya sendiri," pungkasnya.
Kejadian ini sekali lagi membuktikan bahwa seni tidak pernah sekadar tentang estetika. Ia adalah medium perlawanan, ruang dialog, dan cermin bagi bangsa. Pembredelan ini mungkin telah menutup ruang fisik pameran, tetapi justru membuka ruang diskusi yang lebih besar: sejauh mana negara ini mampu menerima kritik sebagai bagian dari proses demokrasi?
Kesimpulan
Pembredelan pameran Yos Suprapto bukan hanya persoalan seni, tetapi juga alarm keras tentang arah kebebasan berekspresi di Indonesia. Di tengah bayang-bayang otoritarianisme yang terus menghantui, seni tetaplah nyala kecil yang mengingatkan kita akan pentingnya bertanya, mengkritik, dan melawan. Pertanyaannya sekarang: apakah kita siap mempertahankan nyala itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H