Pembredelan Pameran Seni Yos Suprapto: Semiotika Kritik yang Dibungkam
Siapa Yos Suprapto dan Apa yang Ia Bawa?
Yos Suprapto, seniman yang sudah malang melintang di dunia seni rupa Indonesia, dikenal sebagai pelopor kritik sosial melalui seni semiotika. Pameran terbarunya ini memuat karya-karya yang memvisualisasikan perjalanan ekspresi mirip mantan Presiden Joko Widodo, mulai dari masa kampanye hingga menjelang akhir masa jabatan. Ekspresi wajah dalam lukisan-lukisan tersebut tidak sekadar gambar; mereka adalah simbol dari perasaan sang seniman terhadap kebijakan, pernyataan, dan langkah politik selama lebih dari satu dekade terakhir.
Karya-karya tersebut menampilkan variasi ekspresi, dari wajah tegas hingga senyuman penuh ironi, yang disandingkan dengan berbagai simbol politik dan sosial --- dari tumpukan beras, tambang emas, hingga figur petani dan buruh. Yos menyatakan, "Ini adalah interpretasi pribadi saya, refleksi dari bagaimana seorang pemimpin berubah dalam tekanan dan kuasa."
Apa yang Terjadi di Balik Pembredelan?
Menurut laporan panitia pameran, pembredelan terjadi kurang dari 12 jam sebelum pembukaan resmi. Surat pemberitahuan dari aparat setempat menyebutkan bahwa karya-karya Yos dianggap "melanggar nilai-nilai ketertiban umum" dan dapat "memprovokasi perpecahan". Namun, alasan ini dinilai banyak pihak sebagai tameng untuk menyembunyikan ketakutan terhadap kritik yang termuat dalam pameran.
"Ironi besar ketika seni, yang seharusnya menjadi ruang dialog, justru dibungkam dengan alasan ketertiban. Ini bukan hanya pembungkaman terhadap saya, tetapi juga terhadap demokrasi," ujar Yos dalam konferensi pers darurat.
Apa Isi Kritik Yos Suprapto?
Dalam wawancara eksklusif sebelum pembredelan, Yos mengungkapkan, "Karya ini adalah respons terhadap perubahan wajah kepemimpinan. Dari seorang pemimpin yang dicintai karena kesederhanaannya, menjadi figur yang terasa semakin jauh dari rakyat." Salah satu karya, berjudul "Beban di Atas Singgasana", menggambarkan wajah mirip Jokowi dengan ekspresi datar, duduk di kursi kepresidenan yang dikelilingi para oligarki. Di sudut lain, sebuah karya berjudul "Purnanya Tak Pernah Usai" menggambarkan sosok mirip Jokowi pasca-presidensi masih memegang kendali atas sebuah roda besar bertuliskan "negara".
Di antara puluhan lukisan yang dipamerkan, lima karya dinilai bermasalah oleh pemerintah. Salah satu yang paling kontroversial adalah lukisan yang menggambarkan figur mirip Jokowi di tengah persimpangan antara rakyat kecil dan korporasi besar. "Bagi saya, wajah adalah cermin. Ekspresi dalam karya saya adalah interpretasi atas kebijakan-kebijakan, mulai dari janji manis hingga kontroversi seperti UU Cipta Kerja, tambang Blok Wabu, hingga perpanjangan masa jabatan kepala desa. Semua itu membentuk narasi tentang bagaimana kekuasaan dapat mengubah seseorang," tegas Yos.
Reaksi Publik: Seniman Dibungkam, Demokrasi Dipertanyakan