Mohon tunggu...
Arya Adi Seputro
Arya Adi Seputro Mohon Tunggu... Guru - Manusia biasa yang ingin menjadi manusia seutuhnya

It’s just myself talking to myself about myself.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Dikotomi Kendali: Tidak Semua Hal Bisa Kita Kendalikan

6 Juni 2023   10:18 Diperbarui: 8 Juni 2023   14:02 1464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita seringkali merasa kesal dan kecewa bila banyak hal yang sudah direncakan tiba-tiba gagal begitu saja, bukan? Atau misalnya kita menjadi kecewa terhadap diri kita sendiri dan orang lain ketika kita mendapatkan komentar negatif. Akui saja respon itulah yang sering kita tampakkan.

Kebetulan dulu saya merupakan orang yang suka overthinking bila akan melakukan suatu pekerjaan dan takut akan mendapatkan kritik maupun respon yang tidak menyenangkan dari orang lain. 

Ketika saya mendapatkan komentar negatif dari orang lain, saya merasa kecewa dengan orang tersebut dan tentunya juga dengan diri saya sendiri. 

Saya menjadi lesu dan merasa percuma mengusahakan dengan maksimal apa yang selama ini saya lakukan, yang pada akhirnya dinilai negatif oleh orang lain.

Tetapi makin saya beranjak dewasa, saya semakin lelah dengan pola pikir dan perasaan saya tersebut. Saya merasa untuk apa menyenangkan hati orang lain yang jelas-jelas orang tersebut tidak menyukai saya? Dan pada akhirnya saya menemukan sebuah aliran filsafat kuno yang mengubah pola pikir saya saat ini, yaa Stoikisme!

Mengenal Stoikisme

Stoikisme merupakan sebuah aliran atau mazhab filsafat Yunani kuno yang sudah ada sejak awal abad ke-3  sebelum masehi yang dicetuskan oleh Zeno dari Citium. Kemudian aliran filsafat stoa ini terus dikembangkan oleh Epictetus (55-135 SM) serta kemudian dilanjutkan oleh Marcus Aurelius (121-180 SM).

Filosofi stoikisme menekankan bahwa semua hal dalam hidup bersifat netral, baik atau buruknya suatu hal itu tercipta dari interpretasi pikiran kita sendiri. Misalkan kita terpaksa menjual motor kesayangan kita karena harus membayar biaya kuliah di akhir semester. 

Jika kita menginterpretasikan secara negatif maka kita akan menyalahkan keadaan ekonomi kita saat ini, akan tetapi bila kita menginterpretasikan secara positif maka kita akan berfikir bahwa hal tersebut tepat untuk dilakukan karena kita akan bisa melanjutkan kuliah kita. Toh soal motor kita bisa beli lagi saat sudah bekerja nanti.

Ilustrasi Stoikisme | Sumber: superradio.id
Ilustrasi Stoikisme | Sumber: superradio.id

Stoikisme menganggap bahwa kebahagiaan seharusnya tidak perlu dikejar. Untuk mencapai sebuah kebahagiaan yang sejati perlu didasarkan pada beberapa prinsip, antara lain: kita perlu mengurangi emosi negatif yang kita miliki, melihat diri sendiri dan orang lain secara objekif, mencegah diri sendiri agar tidak dikendalikan oleh rasa ingin bahagia atau takut terhadap rasa sakit maupun penderitaan, dan yang terakhir adalah menyadari bahwa ada hal yang bisa kita kendalikan atau tidak bisa kita kendalikan.

Dikotomi Kendali

Dalam filosofi stoikisme, terdapat salah satu konsep yang diajarkan yaitu dikotomi kendali.

Memangnya apa sih dikotomi kendali itu?  

Dikotomi kendali dikelompokkan menjadi dua hal yaitu hal yang bisa kita kendalikan dan hal yang tidak bisa kita kendalikan.  Hal yang bisa kita kendalikan merupakan faktor internal dari diri kita sendiri. Contohnya adalah persepsi, pola pikir, emosi, ucapan, dan tindakan yang kita miliki. 

Sedangkan hal yang tidak bisa kita kendalikan merupakan faktor eksternal dari luar diri kita. Contohnya adalah cuaca, kondisi ekonomi global, pendapat maupun sikap orang lain, dan lain sebagainya.

Kita perlu sadar bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan. Stoikisme menganggap bahwa kekhawatiran akan hal yang tidak bisa kita kendalikan merupakan hal yang irasional dan menjadi pemicu munculnya permasalahan-permasalahan yang ada. Dengan terlalu banyak memikirkan faktor eksternal, maka kita tidak akan pernah bisa merasakan kebahagiaan. 

Sebenarnya, dikotomi kendali bisa kita implementasikan di berbagai aspek kehidupan mulai dari aspek ekonomi, percintaan, gaya hidup, kesehatan, karir, dan lain sebagainya.

Saya akan ambil contoh dalam hal percintaan nih. Misalkan kita sudah berusaha untuk menjadi seorang kekasih yang sangat cinta dan baik dengan pasangan kita, eh ujung-ujungnya kita ditinggalkan karena dia lebih memilih orang lain ketimbang diri kita. Apa yang harus kita lakukan? Ya terima saja dengan keputusan yang dia ambil, karena hal itu tidak bisa kita kontrol. Yang terpenting adalah kita sudah melihat ke dalam diri kita sendiri bahwa kita sudah berusaha menjadi seorang pasangan yang baik, sangat cinta dan setia dengan dia.

Apakah dikotomi kendali itu berarti kita pasrah dengan keadaan? Tentu saja tidak, konsep dikotomi kendali mengajarkan kita untuk terus memaksimalkan aspek yang bisa kita kendalikan, sehingga kita akan jauh merasa lebih tenang dan hidup kita akan lebih stabil.

Ketika kita mengalami kegagalan dalam hidup, kita akan jauh lebih siap untuk menghadapi kegagalan tersebut. Kita akan menerima bahwa kegagalan tersebut merupakan bagian dari hidup yang tidak bisa kita pisahkan. Ingat, kita harus deal with it!

Selain itu, kita bisa melatih kontrol diri kita supaya kita tidak mudah bersikap terlalu reaktif dan menjadi lebih tenang ketika menghadapi sebuah kegagalan. 

Kita bisa beristirahat usai mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan untuk melihat permasalahan secara lebih objektif. Dengan begitu, kita akan lebih mudah menerima kegagalan terutama yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar kuasamu. 

Rasa bahagia kita muncul bukan karena reaksi, tetapi karena aksi. 

Yuk dari pada kita fokus dengan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, lebih baik kita fokus dengan apa yang ada di dalam diri kita sendiri. Kita geser faktor kebahagiaan yang sebelumnya di area eksternal menjadi internal diri kita. Maka kita akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih sering dan lebih tahan lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun