Tulisan ini sudah ditayangkan di website pribadi kami, Jurnal Harian.
Setali tiga uang, rilis harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM) versi pemerintah pusat mulai ditanggapi oleh berbagai pengamat. Dalam artikel yang ditayangkan oleh Kompas, pengamat yang dimaksud di dalam artikel menyatakan bahwa harga keekonomian BBM versi pemerintah pusat terlalu tinggi.
Harga keekonomian sendiri disampaikan oleh dua menteri. Kedua menteri tersebut juga menyampaikan harga keekonomian dengan nominal yang berbeda.Â
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan pernyataan tentang harga keekonomian BBM. Menurutnya, harga Pertalite secara keekonomian adalah 14.450 rupiah. Sementara, harga keekonomian Solar adalah 13.950 rupiah.Â
Di lain pihak, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memberikan keterangan harga keekonomian yang berbeda. Menurutnya, harga keekonomian Pertalite adalah 17.200 rupiah. Sedangkan, harga keekonomian Solar 17.600 rupiah.
Perbandingan versi antara kedua menteri jelaslah harga keekonomian versi Menteri Keuangan lebih bersahabat dibandingkan versi Menteri ESDM. Walau bagaimanapun, yang mananya harga BBM naik tetap dipermasalahkan, dan selalu dianggap mahal oleh rakyat. Begitu pula pandangan pengamat terkait.Â
Tauhid Ahmad selaku Direktur Utama dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memberikan pendapat, bahwa harga keekonomian versi pemerintah pusat terlalu tinggi. Beliau juga menyebutkan, bahwa kenaikan harga BBM di atas sepuluh ribu rupiah berpotensi semakin meningkatkan nilai inflasi nasional. Bahkan, diperkirakan mencapai tujuh hingga delapan persen.
Tauhid Ahmad juga memberikan pendapatnya tentang kenaikan harga BBM ini. Dalam pemahaman kami, beliau juga tidak mementahkan opsi kenaikan harga BBM secara mutlak. Hanya saja, diperlukan kenaikan secara bertahap. Lebih lanjut beliau mengusulkan agar kenaikan bisa dilakukan dalam lima tahapan.Â
Alasan dari usulan beliau sederhana, agar kenaikan bisa disesuaikan dengan daya beli masyarakat. Kalaupun memang harus di atas angka sepuluh ribu, hal itu dilakukan secara halus dan tidak tiba-tiba.Â
Selain itu, diperlukan berbagai antisipasi yang tepat sasaran. Menurut Tauhid Ahmad, besaran bantuan harus disesuaikan dengan inflasi saat ini. Juga, program penyasaran BBM tepat guna harus digalakkan lebih. Beliau menambahkan, pemerintah memang harus menjamin bahwa BBM bersubsidi dipakai dan dinikmati oleh kalangan yang benar-benar membutuhkan.Â
Harga minyak bumi dunia yang fluktuatif tidak bisa dipungkiri sebagai biang keladi utama. Sebagai negara net importir dari minyak mentah, keadaan harga BBM di Indonesia sejatinya sangat volatil.Â
Satu hal penting, keinginan pemerintah untuk mengontrol pemakaian BBM bersubsidi memang mutlak perlu. Pemerintah sendiri  sudah gerah dengan kebocoran anggaran subsidi BBM. Bisa dilihat dari postingan Bu Sri Mulyani yang berkali-kali menjelaskan betapa bobroknya distribusi BBM subsidi di Indonesia (dan selalu disentil dengan komentar-komentar kurang waras oleh warga net). Juru bicara Kementerian Badan Usaha Milik Negara Arya Sinulingga juga sempat menyentil, kalau BBM bersubsidi tidak seharusnya dinikmati oleh kaum berada.Â
Satu hal, perbincangan subsidi BBM masih berkutat antara Pertalite dan Solar. Bagaimana dengan Pertamax 92? Masih ada gonjang-ganjing antara salah seorang staf khusus dengan dua menteri. Tapi, secara sadar, kita pahami dulu saja bahwa Pertamax 92 itu bukan BBM bersubsidi dan dipakai kaum berada.Â
Kita hanya tinggal menghitung hari. Apakah benar, harga BBM akan segera diumumkan kenaikannya oleh Presiden seperti yang dibocorkan oleh Pak Luhut Binsar Pandjaitan kemarin?
Ditulis di Pekanbaru pada 31 Agustus 2022
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H