Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sepanjang Agustusan

20 Agustus 2022   22:13 Diperbarui: 20 Agustus 2022   22:20 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tahun ini bisa dikatakan sebagai agustusan terbaik di dekade kedua milenial kedua. Pasalnya, pandemi yang konon katanya mereda sehingga masyarakat yang sudah lama diikat di atas kasurnya bisa kembali menggeliat. 

Secara ekonomi, konon kita mencapai angka pertumbuhan yang fantastis di angka lima persenan. Pun, inflasi yang ternyata bisa dikendalikan dan berada di bawah rata rata inflasi negara sejawat. Lebih senang lagi hati masyarakat kita, ketika tahu bahwa masker bukan lagi sebuah keharusan. Apalagi vaksin. Konon loh ya. 

Lalu, datanglah bulan Agustus yang merupakan bulan sakral bagi masyarakat Indonesia. Menurut kami, bulan ini adalah bulan rukyah terbaik untuk memeriksa, apakah nilai nasionalisme seseorang masih ada atau sudah menjadi abu. Setidak-tidaknya sekali orang Indonesia akan bergetar hatinya mendengar lagu Indonesia Raya di bulan agustus ini. 

Apalagi mendengar lagu Hari Merdeka. Serempak mereka akan ikut mengibarkan bendera merah putih, pun hanya sekedar imajinasi belaka. Lebih menangis lagi ketika mendengar lagu Syukur, yang menjadikan setiap insan bertaubat, betapa nikmat kemerdekaan ini adalah sebuah nikmat dan karunia yang luar biasa. 

Bahkan agustusan menjadi momentum ekonomi terbaik bagi segala kalangan. Seperti para penjual bendera tepi jalan yang menjajakan dagangannya meski harus dibakar sinar UV ekstrim. Mereka mendapati banyak masyarakat yang cinta tanah air membeli bendera ke mereka. Entah itu bendera terkecil hingga bendera terbesar yang seperti umbul-umbul itu. 

Memasang bendera menjadi tradisi yang sulit dihilangkan, walau kadang masih ada yang berlagak pura pura lupa. Setiap agustusan, setiap rumah, kedai, dan truk-truk tribal memasang bendera Merah Putih dengan rasa bangga. Apalagi truk-truk tribal itu, yang di sebelas bulan lainnya begitu dibenci karena ukurannya yang aneh itu. 

Tetapi, ketika agustusan truk-truk tribal itu menjadi suatu kendaraan yang dicintai sebab mereka mengibarkan Merah Putih di gagang spion mereka. Ketika mereka melaju kencang, maka berkibar megahlah Merah Putih itu. Suatu hal yang pastinya tidak mudah dilakukan dengan sekedar memasang bendera di depan rumah.

Begitu pula perlombaan-perlombaan yang diadakan di setiap RT, RW, atau malah di tingkat perumahan. Berduyun-duyun masyarakat menggelontorkan dana demi terciptanya suatu perhelatan akbar agustusan. 

Dana rakyat yang kelak akan kembali kepada rakyat. Baik rakyat yang menjual bahan-bahan untuk perlombaan. Baik rakyat yang mendapat bungkusan dalam mempersiapkan acara perlombaan. Baik rakyat yang menang dalam perlombaan. Semuanya kembali ke rakyat. 

Satu hal yang pastinya didapat rakyat, walau bukan sekedar materi belaka, yaitu rasa bahagia dan senyum dan tawa yang begitu lepas. Ibu-ibu begitu bersemangat mengarahkan anak-anaknya agar bersegera ke tanah lapang untuk mengikuti lomba. Segala macam parfum dan wewangian dipakai untuk menunjukkan kebersihan diri menuju suatu perhelatan bernama agustusan. 

Setiba di tempat perlombaan, hanya tawa bahagia yang mereka pancarkan. Tidak peduli yang berlomba terkadang memalukan. Yang penting tertawa dan bahagia. Begitu pula para penjaja makanan ringan atau penjaja mainan yang mendapat kelimpahan berkah di momen agustusan. 

Seharian penuh masyarakat Indonesia berbahagia bersama hingga berpuncak kepada acara panjat pinang yang selalu dinanti-nanti. Sebuah perlombaan yang menunjukkan keperkasaan dan keberanian para pemuda untuk mendaki pinang berlumur oli demi hadiah-hadiah receh. Begitulah realita di tingkat RT, RW, atau perumahan. 

Tidak ada hadiah panjat pinang yang menarik perhatian. Tapi, bukan itu intinya. Bukan pula permasalahan sejarah kelamnya. Toh, masyarakat tidak peduli itu. Yang mereka pedulikan kebahagiaan dan kepuasan menyaksikan para pemuda berjibaku demi mencapai puncak teratas. 

Walau para penonton yang terdiri dari ibu-ibu dan bapak-bapak itu banyak tertawanya, tetapi mereka tetap menyimpan rasa khawatir di dalam lubuk hati mereka. 

Andaikata para pemuda itu selip dan jatuh berjamaah menghujam tanah. Mereka sangat khawatir. Tapi, para pemuda yang tangguh itu menunjukkan keberanian dan kekuatan yang luar biasa, dibalut dengan kerjasama yang solid. Lumuran oli hitam legam itu hanya bisa menempel di tubuh mereka. 

Hanya bisa melicinkan lintasan mereka. Tetapi tidak dengan semangat mereka yang membara. Sejatinya, oli itu dibakar habis oleh semangat atma para pemuda yang luar biasa.

Hingga akhirnya malam hari tiba. Pesta belumlah usai, kawan. Masyarakat kembali melanjutkan dengan mengadakan konser rakyat yang sesungguhnya. 

Bukan sekedar biduan yang bernyanyi, tetapi rakyat yang ingin melepaskan diri dari kepenatan dunia yang mencekik mereka. Suara mereka mungkin cempreng, serak-serak kering, fales. Tapi, telinga yang mendengarkan tidak pernah menghina, pun meremehkan di momentum tujuh belasan itu. Semuanya berdendang walau dalam tahapan batin. Masyarakat telah mengadakan pestanya dengan bahagia.

Sebelum malam usai, dan hari berganti, dan bulan berganti. Sebelum kekejaman dunia kembali meneror mereka. Baik di dunia nyata atau di dunia maya. Entah dari nafsu setan atau dari nafsu manusia. 

Semoga para rakyat kembali berbahagia. Bukan sekedar di bulan Agustus. Bukan sekedar momentum agustusan. Tetapi selamanya. Tidak perlu pusing dengan pandangan sinis dan miring orang-orang hebat yang kerap meremehkan mereka. Entah karena memilih menikah muda, atau sekedar berkeluh kesah dengan pahitnya harga. 

Sesama rakyat pastilah saling merangkul. Bukan meremehkan. Saling berempati dan saling memahami penderitaan. Karena kita adalah sistem yang bernama Indonesia.

Rasa takut dan khawatir seorang ojol, seorang petani, seorang guru, seorang mahasiswa, seorang pengangguran, adalah rasa khawatir segenap rakyat Indonesia. Semoga rasa khawatir itu tidak menghancurkan dinding kokoh cinta tanah airnya. Rasa cintanya kepada tanah leluhurnya.

Semoga bendera Merah Putih itu selalu berkibar. Bukan sekedar seremonial agustusan belaka.

Ditulis di Pekanbaru pada 20 Agustus 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun