Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sirius: Pagi

30 Juli 2019   20:35 Diperbarui: 30 Juli 2019   20:48 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Pagi ini terasa begitu dingin menusuk. Embun pagi bertebaran dimana-mana, terlebih di sisi lain kota yang tersohor itu. Bukan apa-apa, sisi lain kota adalah tempat orang-orang membanting tulang. Uang, sumber kesejahteraan masa kini, banyak dikeluarkan dari laci ataupun dari amplop-amplop di sisi lain kota. Pagi begitu sejahtera, masih banyak suara burung terdengar. Apakah ini masih bisa didengar hingga siang? Pastinya tidak! Jangan ditanya mengapa.
Para pesohor mungkin tidak pernah datang ke sisi lain kota. Wajar, sih, mereka terlalu suci untuk datang ke sisi lain kota ini. Mandi saja tiga kali sehari, sikat gigi lima kali dan perawatan tubuh sekali dua minggu. Sejujurnya, bagi orang sederhana, dua hal pertama bukanlah masalah. Akan tetapi, hal terakhir cukup membuat orang sederhana iri. Semua orang ingin tubuh bersih dan sehat dan bercahaya. Sayang, distribusi sumber daya tidak imbang.
Sisi lain kota bukan sekedar tempat alat produksi ditumpuk, juga terdapat institusi pengubah masa depan di sana. Perbandingan jumlahnya, dari yang berada di tempat pesohor sangat tidak berimbang. Sisi lain ini, meski jauh dari para pesohor, terdapat banyak institusi pengubah masa depan di sana. Jangan salah, yang berusaha mengubah nasib di sana berasal dari berbagai kalangan; baik dari tempat pesohor maupun penduduk asli sisi lain kota. Tapi, sepanjang informasi yang ada, mereka yang berasal dari tempat pesohor bukan sepenuhnya pesohor. Nyatanya, mereka cukup beruntung kebagian atap di daerah itu.
Tanggal ini dapat dipandang dari berbagai sisi: pertama, para pekerja biasa tidak memandang istimewa hari ini, sama saja. Kedua, para pekerja yang pintar, sama sana dengan yang pertama. Ketiga, para ibu-ibu penjaga rumah, mereka menyambut hari ini dengan gembira. Keempat, para pengejar masa depan, terdapat banyak pemikiran; ada yang bahagia, sudah lama tidak jumpa sahabat; ada yang sedih, padahal baru dua mingguan merasa bebas; ada juga yang biasa-biasa saja. Hidup mereka hampa; spesies yang langkanya, ada yang bahagia karena sudah lama tidak menyentuh buku.
***
Salah satu tempat terindah yang dikenal oleh para siswa, bagiku itu bernama sekolah. Terserahlah. Mungkin ada yang merasa terkekang bagai beruk di dalamnya. Tapi, percayalah, meski klise dan kuno, kenyataannya kebahagiaan di dalam kerengkeng sekolah adalah kebahagiaan duniawi yang sulit didapatkan. Syukurlah, setidaknya dengan pemikiran aneh semacam itu, aku masih bisa memaksa kakiku melangkah ke halaman sekolah.
Pagi ini terasa dingin seperti biasa. Entah mengapa, perjalanan ke sisi lain kota tidak terasa sama sekali. Motorku hanya semacam jenis yang tinggal ditarik tuasnya, tanpa perlu basa-basi mengokang maju atau mundur. Mungkin, karena pe-manja-an  ini aku menjadi lebih letoy dari masa sebelum punya motor ini. Walau begitu, tentu aku masih sempat bersyukur. Alhamdulillah, setidaknya aku masih punya kendaraan untuk dibawa hilir mudik. Menembus berantara embun yang tidak pernah absen di pagi ini, rasa dinginnya menjadi semakin menusuk. Setidaknya, hal-hal sepele itu masih bisa ku lawan. Tapi, bagaimana dengan keadaan di depan mata? Pengendara lain terkadang lebih gila atau lebih bodoh dariku. Apalagi di lingkungan dengan jarak mata setipis ini. Terkadang, aku berpikir, betapa beruntungnya aku masih selamat dan masih hidup semenjak hilir-mudik di jalan penghubung ini.
Beberapa pengendara lain mendahului, beberapa masih santau di belakang yang kemudian aku tinggalkan. Sudah jelas, sebagian besar yang ikut hilir-mudik adalah para pekerja. Para pencari masa depan yang lain lebih senang memakai modal transportasi umum. Bus-bus? Pastinya, walaupun itu adalah mesin waktu 30 tahun. Yah, bukan berarti juga diriku termasuk kalangan atas. Cuman, aku lebih senang dengan kendaraan sendiri.
***
Para pencari masa depan sudah banyak yang datang rupanya. Institusi pengubah masa depan ini, untuk pertama kalinya cukup ramai di jam segini. Memangnya, jam berapa ya? Ah, ternyata pukul 06.33, tidak terlalu kepagian. Sayang, kebanyakan bukan pencari masa depan yang aku kenal. Ah! Bagaimana ini? Dimana insan-insan yang telah lama aku kenal itu? Apa mereka telat?
"Yo! Pagi yang murung seperti biasa bukan, Sir? Keadaan ini harus kita lihat sepanjang hari. Mengapa terlalu dipikirkan? Lihatlah, wajahmu sudah begitu tua."
Tidak diharapkan sama sekali! Mengapa harus orang ini yang aku temui? Orang-orang sudah banyak dan bejibun di sini, apa hanya satu orang ini saja yang ada perhatiannya kepadaku?
"Oh, Gerhana. Aku kira siapa. Lagian, tidak biasanya dirimu sudah ada jam begini. Sudah kapok ya? Jangan-jangan kreditmu tersisa satu? Benar-benar penghabisan, dasar bodoh!!!"
Sialan! Mengapa pula dia tertawa?
"Jangan terlalu dingin begitu. Apa tidak boleh, jika seseorang berusaha menjadi lebih baik? Ya, meskipun itu hanya sesekali."
Aku memang tidak memiliki pilihan lain. Memang, aku tidak menyukai bersama Gerhana ini, bahkan semenjak awal masuk institusi pengubah masa depan. Padahal, kami satu kelompok dulu. Sejauh yang masih bisa aku ingat, orang ini begitu sering merancau dan songak. Bisa dikatakan, sikapnya itu berkebalikan dariku.
"Ya sudahlah."
***
Matahari semakin naik. Embun pagi yang begitu tebal tadinya, sekarang perlahan-lahan menipis, menyisakan beberapa di atas sungai tak bernama. Kesan mistis terlihat sekali, embun  tipis itu selalu ada sepanjang tahun. Sungai tak bernama ini, pemisah antara sisi pesohor dengan sisi lain kota. Benar, terdapat beberapa jembatan besi panjang sebagai penghubung kedua tempat.
Banyak kisah dan hal yang dikatakan pernah terjadi di sekitaran sungai tak bernama. Yang jelas, semua pendapat setuju bahwa sungai tersebut dihuni oleh banyak makhluk kasat mata. Beberapa di antaranya, seperti pakaian merah tanpa pengguna yang sering terlihat terbang menjuntai di atas jembatan tertentu atau perahu rakit yang dikayuh oleh seorang kakek yang dikatakan selalu menangis darah.
***
Gerhana memandang pemandangan sekitar institusi pengubah masa depan. Daerah-daerah yang awalnya gelap, sekarang terlihat lebih cerah. Kesan angker sekolah hilang dalam sekejap. Bersamaan dengan itu, para pencari masa depan mulai datang ke tempat ini- dalam waktu yang bersamaan, seperti banjir manusia.
Kicauan burung memang tidak senyaring waktu lebih pagi tadi. Meski demikian, masih tersisa beberapa burung yang masih setia mengguncang pagi. Suara alami mereka ditaklukkan oleh suara tawa para pencari masa depan yang berisik dan mengganggu. Sangat disayangkan! Padahal, jarang-jarang di institusi pengubah masa depan lain yang kejadiannya seperti ini.
"Sir!!! Gerhana!!!"
Suara yang lembut! Sayang, si pemilik memaksakan oktaf suaranya agar naik drastis. Jadinya, ya, terdengar sedikit parau. Jika dugaanku benar, si pemilik suara pasti berada lumayan jauh dari kami. Gerhana terlebih dulu menoleh ke belakang, diikuti senyuman dan rasa girang, jingkrak-jingkrak sembari melambai-lambai. Sudahlah, aku sudah menyadari siapa pemilik suara lembut itu.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun