Udara terasa panas, tidak seperti biasanya. Menyengat, seluruh kulit ariku terasa terkelupas. Begitu pula para hewan yang bersemayam di luar rumah ini, semuanya mondok tanpa meninggalkan jejak. Apa benar pemanasan global itu ada? Kota ini memang seyogyanya panas. Namun jarang sekali panas yang terasa seperti siang hari ini.Â
Rasa haus 'tak kunjung terobati. Sudah satu galon habis dikonsumsi orang-orang rumah, biasanya satu galon untuk tiga hari. Untung benar para penjual air mineral saat ini. Lebih parah lagi ketika lampu mati, terasa berada di permukaan terluar dari neraka. Keringat mengucur deras, hanya sedikit sepoi-sepoi yang tidak berimba yang datang mendinginkan suasana.
"Mengapa bermenung begitu? Siap-siap dong!!"
Lanaya tertegun. Siap-siap apanya? Memang mau pergi kemana siang hari yang menjelaga ini? Tidak pernah sedikitpun ada niatan dari dalam hatinya untuk pergi mejeng. Apalagi buat perjalanan jauh. Tidak mungkin!!!
"Siap-siap bagaimana Kak Ayu? Kita tidak akan pergi ke luar 'kan? Hari panas dan begitu lembab. Bagaimana mungkin mau mejeng di suasana seperti ini. Mau menghitamkan kulit? Toh, kulit kita berdua memang sudah coklat dari sananya. Tidak relevan." Lanaya berusaha membela diri, semampuku. Gadis baru tamat SMA itu tahu, palingan akan berhamburan semua argumen penanding yang tidak bakal bisa dia tangkis.
"Jangan berbicara begitu. Memang kita tidak akan pergi kemana-mana. Hanya saja kamu perlu tahu, sebentar lagi anak dari Mpok Yuli bakal datang. Kamu masih ingat budak itu bukan?" Petunjuk yang diberikan Kak Ayu membuatku berpikir keras. Siapa anak dari Mpok Ayu? Memang sesekali Lanaya pernah bertemu dengan wanita berusia kepala tiga yang tubuhnya melorot itu. Tapi, tidak ada catatan sedikitpun di dalam ingatanku bahwa aku pernah bertemu dengan bocahnya.
"Ah! Aku jadi ingat, kamu belum pernah bertemu ya? Sayang sekali, pokoknya kamu harus bertemu dengan anak Mpok Ayu. Seorang bocah, agak rewel dan menyebalkan sih, bagaimanapun tetap menyenangkan berada di sampingnya. Nyatanya dia seorang bocah yang begitu heboh dan hebat di dalam mencairkan suasana yang biasanya kaku. Sudahlah, nanti kamu juga bakal tahu sendiri. Sudah ya, Kakak mau pergi ke luar sebentar. Jaga rumah baik-baik. Andaikata Mpok Ayu datang sebelum kakak pulang, ya kamu terima saja dulu. Suruh tunggu sampai Kakak pulang. Tidak lama kok, asal emak-emak gendut itu berkenan bersabar menunggu."
Hanya anggukan kepala sebagai rasa budi untuk memberikan respon. Lanaya tidak tertarik, sama sekali, sama seorang bocah yang tidak aku kenal. Kesendirian selama lima belas tahun membuat diriku terbiasa sendiri. Kak Ayu juga baru bergumul dengannya selama setahun belakangan, pasca menamatkan pendidikannya di salah satu Perguruan Tinggi biasa di negeri seberang.Â
Meski kakak Lanaya itu sibuk bekerja, dia tetap konsisten menjaga kemampuan intelektualitasku dengan rajin membaca dan menulis. Beberapa kali namanya sempat mengirimkan hasil tulisannya kepada beberapa redaktur koran lokal.Â
Alhamdulillah, beberapa jebol dan dimuat. Alangkah senangnya ketika namaku terpampang jelas di salah satu pojok koran. Memang bayarannya tidak seberapa jika dibandingkan dengan gaji bulanan tetap Kakak Ayu. Yang penting di sini adalah rasa kebebasan yang harus tersalurkan melalui kegiatan menarik ini.
Apalagi berhadapan dengan anak-anak, atau toddler, rasanya Lanaya ingin segera mengibarkan bendera putih. Makluk kecil menjijikkan yang selalu melakukan hal yang aneh dan suka menyulut sumbu emosi. Sudah, dia tidak sanggup lagi menjaga perasaan ini ketika harus berhadapan dengan makhluk itu. Lagipula, ketidakhardiran sosok lain di dalam hidup gadis itu di dalam waktu yang cukup lama sangat berpengaruh. Bagaimana bisa Lanaya menangani seorang bocah rewel dan usil? Mestikah Lanaya marah dan berteriak-teriak kepadanya? Kalau dia berlarian kemudian terjatuh gimana? Kalau dia menangis terisak-isak bagaimana? Menyebalkan!! Belum datang saja sudah bikin sakit kepala.
***
Rasa suntuk datang berjibaku denganku. Mengapa harus aku yang mengurusi anak orang? Seorang bocah? Apa aku bisa? Selama ini aku sendiri, berusaha bertahan di tengah rasa dingin yang beda. Ayah-Ibu sibuk bekerja, sibuk melompat dari satu kota ke kota lain. Kalau beruntung, mereka sesekali datang menjengukku. Sebuah kata yang aneh, seakan-akan aku sudah mati. Yang rajin datang hanyalah uang kiriman mereka, itu pun langsung ditransfer melalui rekening bank. Intinya, semuanya terasa tidak nyata dan main-main.