Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Dua Equinox

13 November 2018   08:25 Diperbarui: 13 November 2018   09:06 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Matahari, sumber cahaya dan kalor yang menyelimuti tata surya

            Tiada baginya suatu tandingan, dan dialah penopang kehidupan makhluk

            Cahaya, sumber keberanian dan kekuatan menghadapi kegelapan dan ketakutan

            Dan kalor, sumber rasa hangat dan ketenangan, penawar rasa dingin yang mengguncang jiwa 

            Di dalam hidupku, pernah terjadi beberapa kali equinox, ketika bumi sejajar dengan matahari

            Di saat itu, belahan bumi tidak ada lagi yang pemalu, maupun yang angkuh melawan matahari

            Ketika itu, nyaris aku lewati begitu saja, tanpa ada rasa dan kenangan yang berarti

            Namun, terkadang cinta datang mengubah nuansa jiwa dan menumpulkan logika

            Terkadang memang benar, cinta itu tidak memiliki logika

           

            Di antara dua equinox yang pernah terjadi di hidupku, terdapat pula dua kisah di dalam hidupku

            Ada masa, ketika aku dan dirinya masih bersama, menikmati hari dan menghiasi malam

            Cahaya mentari memang terasa begitu menyinari bumi, dan kalornya menghangatkan jiwa kami berdua

            Lengkungan ruang dan waktu, terasa seperti sebuah pelangi yang indah dihiasi 7 spektrum warna cahaya yang membentuk harmoni jiwa dan semesta

            Gravitasi terasa begitu kentara, ketika hatiku ditarik oleh hatinya yang terasa begitu dekat dan begitu kuat energinya

            Dan kalor, atau atma jiwanya menempuh kecepatan cahaya melewati batas singularitas jiwaku, yang dahulu begitu kuat dan tak bisa dilewati oleh cahaya manapun

           

            Tetapi, ada masanya ketika cahaya mentari meredup, dan kalor surya menghilang digantikan rasa dinginnya semesta luas

            Dia pergi, dan mencari collateral lain, apalah dayaku, dan apa juga dayanya

            Semerbak hati yang baru saja mekar menikmati percikan cahaya mentari, perlahan mati dan membusuk ditelan waktu yang memangsa semua

            Jiwa ini dingin, dan tidak bisa melihat cahaya lagi

            Antara dua equinox, hidupku pernah terbagi menjadi dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun