Tarik ulur kepentingan rezim lama dan baru terkait peningkatan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) masih terus berlangsung. Lobi-lobi politik, baik yang terekam media maupun yang tidak, terus dilakukan. Karena masing-masing kubu, tidak mau dianggap sebagai penguasa yang tidak pro rakyat.
Dampak dari isu penaikan harga BBM ini sudah mulai terasa. Kenaikan harga barang dan jasa terus terjadi. Hasil survey konsumen BI memperkirakan peningkatan kenaikan harga akibat kebijakan BBM akan terjadi pada enam bulan mendatang, yakni Februari 2015. Bahkan bila kita cermati, harga berbagai kebutuhan pokok masyarakat, semisal beras, sudah merangkak naik sedari sekarang. Hal ini menjadi bukti bahwa penaikan harga BBM akan menimbulkan efek domino kenaikan harga kebutuhan masyarakat lainnya. Maka, alih-alih mengentaskan kemiskinan yang terjadi malahan akan menetaskan kemiskinan.
Sebetulnya, bila penguasa negeri ini mau berpikir out of the box dan mengabaikan tekanan World Bank dalam penghapusan subsidi BBM. Lalu kita mau merujuk Islam secara lebih komprehensif dan sistemik. Kita akan menemukan solusi yang lebih tepat dan akan menyejahterakan rakyat.
Pengaturan BBM masuk dalam ranah sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam menjadikan aqidah islamiyyah sebagai pondasinya. Mengenai hal ini, penulis sering memberikan ilustrasi seperti ini. Bila kita sedang berjalan, kemudian kita menemukan uang Rp 100.000. Apa yang pertama kali terbersit di benak kita. Pasti kita bertanya, uang siapakah ini? Bolehkah saya memiliki uang ini? Pasti itulah yang terbersit di benak kita. Begitu pula bila kita berpikir lebih makro. Sumber daya alam yang terkandung di langit bumi dan seisinya, semua itu pada hakikatnya milik Allah Swt. Allah Swt berfirman, yang artinya : ”yang kepunyaan-Nya lah kerajaan langit dan bumi” (T.Q.S. Al Furqon[25] : 2).
Inilah pondasi sistem ekonomi Islam, yakni Allah Swt sebagai Al Khaliq dan pemilik semua alam raya ini. Sehingga bila kita ingin mengelola alam ini, mesti mengikuti bagaimana aturan yang telah ditentukan oleh Sang Pemiliknya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ath Thabari ketika menafsirkan ayat di atas, beliau menegaskan :
“yang kepunyaan-Nya-lah kekuasaan langit dan bumi. Ia menerapkan perintah dan ketetapan-Nya di seluruh kekuasaan-Nya, juga memberlakukan hukum-hukum-Nya. Ia berkata : maka merupakan hak-Nya untuk ditaati para penghuni kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta (mereka) tidak boleh menentang-Nya.”
Dari pondasi inilah kemudian Islam mengatur tentang kepemilikan. Islam membagi seluruh sumber daya dan kekayaan alam ini ke dalam tiga kepemilikan. Yakni, kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum adalah ijin Asy-syari’ (Allah Swt) yang diberikan kepada rakyat secara umum. Sehingga siapapun, orang sekaya apapun, perusahaan sebesar apapun, tidak boleh merebut kepemilikan umum ini untuk dijadikan sebagai kepemilikan individu.
Abyadh bin Hammal pernah bercerita tentang permintaannya untuk mengelola tambang garam di daerah Ma’rab. Ia menuturkan sebagai berikut:
“Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Beliau memberikannya. Ketika ia pergi, seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, ‘Tahukah Anda apa yang Anda berikan, tidak lain Anda memberinya laksana air yang terus mengalir.’ Ia berkata: Rasul lalu menariknya dari Abyadh bin Hammal.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hibban)
Kalimat al ma-u al ‘iddu (air yang mengalir) di dalam hadits tersebut bermakna sumber daya alam yang melimpah/banyak. Dikarenakan BBM termasuk ke dalam sumber daya alam jenis ini, maka Islam menggolongkannya ke dalam kepemilikan umum. Dalam sistem Islam, pengelolaan kepemilikan umum dilakukan hanya oleh negara, tanpa campur tangan swasta, apalagi asing. Selanjutnya jika negara tidak mampu, ia bisa mengambil pemasukan dari rakyat hanya untuk ongkos produksi semata, tanpa ada perhitungan keuntungan. Selanjutnya semua pemasukan dari rakyat masuk dalam kas baitul mal, yang dikelola negara untuk menjamin kontinuitas ketersediaan BBM tersebut.
Berdasarkan laporan semester I pelaksanaan APBN 2014 yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan RI, lifting minyak mentah yang dieksploitasi di bumi Indonesia rata-rata sebanyak 818.000 barrel per hari. Bila kita menghitung dengan acuan 1 barrel adalah 159 liter setara minyak dan diasumsikan hanya 50% saja minyak mentah yang bisa menjadi BBM, maka produksi BBM di Indonesia adalah 23.736.315.000 liter/tahun. Sehingga dengan harga Rp 6.500,-/liter, sebetulnya negara sudah mendapatkan pemasukan sebanyak Rp 154.286.047.500.000,-/tahun. Bila dikelola dengan sistem ekonomi Islam, semua pemasukan tersebut akan masuk ke kas baitul mal. Tidak akan ada sepeser pun yang akan menjadi pemasukan individual.
Berbeda dengan pengelolaan ala kapitalistik yang diberlakukan di negeri ini. Dikarenakan perusahaan asing telah menguasai lebih dari 80% usaha hulu minyak, maka minyak mentah yang diambil harus dikonversikan terlebih dulu ke harga internasional, yakni US$ 106/barrel. Sehingga, bila mengacu pada perhitungan ini negara akan menargetkan pendapatan sebesar Rp 348.132.620.000.000,- dari BBM. Selisih pemasukan itulah yang kemudian dinamakan subsidi BBM. Dari manakah negara menutupinya, tentu dari pajak. Walhasil, pada hakikatnya yang terjadi selama ini adalah rakyat mensubsidi kebutuhan mereka sendiri melalui pajak yang mereka bayarkan. Kita bisa melihatnya dari 74% perkiraan realisasi pendapatan negara semester I tahun 2014 sebesar Rp 741 triliun, yakni Rp 547,4 triliun, merupakan penerimaan dari sektor pajak. Dengan perhitungan konversi ke harga internasional tersebut, mayoritas pendapatan akhirnya masuk ke kantong para kapitalis penguasa industri hulu BBM. Sehingga yang paling banyak diuntungkan adalah perusahaan asing, bukan rakyat sendiri.