Musabaqoh Qiro'atul Kutub (MQK) Nasional yang ke 6 kemarin diselenggerakan di pondok pesantren Roudltoul Mubtadi'in, desa Gemiring Lor, Kecamatan Nalumsari Kabupaten Jepara. Pondok pesantren yang lebih dikenal dengan Pondok Balekambang ini terletak di pedesaan yang jauh dari pusat kota. Pasalnya, Â untuk mencapai ke pesantren yang sudah berdiri sejak tahun 1884 ini harus melewati tanamaan tebu berbaris-baris dan sawah yang masih membentang luas ber hektar-hektar.
Dalam perjalanan menuju ke pondok tersebut akan tampak baliho-baliho yang berdiri berbaris menghiasi hampir di setiap sudut jalan. Bahkan, baliho yang bernuansa MQK ini sudah terpampang sejak perbatasan kudus-Jepara hingga lokasi. Desa yang biasanya sepi ini pun jadi terlihat semarak. Desa tersebut disibukkan mulai tanggal 29 November hingga 7 Desember. Â
Sesuai dengan jargonnya, " Dari Pesantren Untuk Penguatan karakater dan Kepribadian Bangsa" Â MQK Nasional kali ini tidak hanya sebagai sebuah ajang silaturahmi dan lomba bagi 34 provinsi dari seluruh Indonesia. Menteri Agama Repubilk Indoesia, Lukman Hakim Saifuddin dalam sambutannya mengatakan, MQK Nasional VI sebagai upaya mengenalkan pola pendidikan pondok pesantren kepada publik nasional dan internasional dalam hal ini melalui kitab kuning. Dimana kitab kuning tidak hanya sekedar dibaca secara teks tetapi konteks, memahami, dikaji, didebatkan isinya dan dilombakan.
Lebih lanjut, Beliau mengatakan, Pondok pesantren telah berkontribusi nyata dalam memberikan pendidikan karakter bagi generasi bangsa. Dari sinilah penetapan hari santri diwujudkan.
"Penetapan hari santri bukan hanya sekedar pengakuan, tetapi kaum santri benar-benar tidak bisa lepas dari sejarah bangsa ini, merebut, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan." Tegasnya.
MQK Nasional 2017 yang diikuti oleh 1083 peserta dari seluruh Indonesia ini dibagi ke dalam 3 marhalah (tingkatan). Yakni marhalah 'ula (tingkat dasar), marhalah wustha (tingkat menengah), dan marhalah 'ulya (tingkat tinggi). Marhala 'ula dikhususkan bagi santri yang berumur maksimal 14 tahun 11 bulan, sementara marhalah wustha, maksimal berumur 17 tahun 11 bulan, sedangkan marhalah 'ulya maksimal berumur 20 tahun 11 bulan.
Adapun perlombaannya dalam setiap marahalah berbeda-beda. Untuk marhalah 'ula ada lima bidang lomba, yakni: Fiqh, Nahwu (gramatika Bahasa Arab,) Akhlak, Tarikh (sejarah) dan Tauhid. Untuk marhalah wustha ada sembilan bidang lomba, yakni : Fiqh, Nahwu, Akhlak, Tarikh, Tafsir, Hadis, Ushul Fiqh, Balaghah, dan tauhid. Sedangkan untuk marhalah 'ulya ada 11 bidang lomba. 9 lomba sebagaimana di marhalah wustho, dua tambahan lainnya adalah bidang ilmu tafsir dan ilmu hadis.
Dari pengamatan penulis,nampak sekali para peserta menampilkan penampilan terbaiknya untuk memukau sang juri. Karena yang sudah sampai di MQK bukanlah santri sembarangan, mereka adalah santri yang mewakili provinsinya masing-masing. Bahkan, hemat penulis para santri lebih cakap dari ustadz yang sering tampil di televisi.
Peserta lomba tidak hanya dituntut bisa membaca kitab kuning yang tidak disertai harokat, namun juga harus mampu menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dan memahaminya dengan sempurna. Mereka harus siap menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh para dewan hakim yang sudah tidak perlu diragukan lagi keilmuannya.
Terakhir ada lomba eksibisi, yaitu pertunjukkan atraktif tentang nadzam kitab populer di pesantren yang diisi oleh tim dari setiap kafilah. Di mana nadzam yang dilombakan adalah nadzom Al-fiyyah, sebuah nadzam yang berisikan 1002 bait membahas ilmu nahwu dan shorof.
Dengan belajar Islam melalui proses membaca kitab, kita akan memahami Islam secara mendalam dan tidak mudah terjerumus ke dalam Islam konservatif, radikal dan gampang menyalahkan orang lain. Pasalnya, dalam mempelajari kitab kuning kita dituntut mempelajari bahasa arab, gramtikal arab dan perbedaan-perbedaan makna, hingga sastra yang terkandung di dalamnya.
"Dalam bahasa arab, satu lafadz saja bisa memiliki puluhan makna," tegasnya.
Jadi, jika kita sudah menguasai kitab kuning, memahami maknanya dengan baik kita tidak akan mudah menghukumi orang lain dengan sembrono, selain itu terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah agama menjadi hal yang biasa, sehingga tidak mengklaim dirinya paling benar. Â
Dari sini penulis tergelitik untuk menanyakan kepada dirjen pendidikan Islam. Kenapa kebanyakan ustadz-ustadz yang tampil di televisi itu adalah ustadz yang mohon maaf, ustadz medioker yang belum tentu mampu membaca kitab kuning, bukan ustadz dari kalangan pesantren yang sudah paham betul masalah agama.
Setelah mengambil nafas panjang beliau menjawab, sebetulnya kami dari pihak dirjen pendidikan Islam sudah mencoba mempresentasikan ide-ide kami kepada pemilik TV Nasional. Dan mereka nampak, setuju dengan apa yang kami sampaikan. Tapi semuanya itu diserahkan kepada tim marketing, di mana ketika sudah sampai tim marketing, diskusi kami seakan mentok dan menemui jalan buntu.
Dari situ penuls jadi teringat dengan seorang ustadz yang juga menjadi dosen di salah satu universitas Islam. Saat itu ustadz bercerita pernah ditawari untuk mengudara di salah satu radio nasional, namun bukannya diberi bisyarah, justru diminta untuk membayar karena ini adalah bentuk dari sebuah promosi.
Ustadz tersebut pun menolaknya dengan halus, karena baginya ketenaran bukanlah sebuah target, tapi hanya lompatan saja. "Jadi, jika ingin tenar lakukanlah dengan cara-cara yang elegan dan tidak menciderai hati nurani," tegas ustad kala itu.
Lebih lanjut, sang ustadz mengatakan, ini adalah sebuah kontestasi politik media, maka erat kaitannnya dengan pemilik modal. Targetnya adalah perang diskursus tidak murni soal normatifitas dakwah.
"Solusinya adalah, penyediaan modal untuk merebut pasar, bisa dalam bentuk support SDM atau membuat media. Namun jika belum mampu, kuatkan SDM masyarkat, sehingga mampu menangkal dan melawan arus kontestasi pemodal," tutupnya.
Secercah Harapan
Namun dengan adanya MQK Nasional yang diselenggarakan kemarin, Abdul Moqsit Ghazali selaku dewan hakim di MQK mengatakan, ada sebuah optimisme dalam dunia pendidikan dan dakwah Islam ke depannya.
Pasalnya, masih banyak anak-anak santri yang mempelajari Islam melalui kitab kuning, di mana untuk bisa mempelajarinya diperlukan waktu dan proses yang tidak sebentar.
"Dengan adanya santri yang paham dengan kitab kuning, bangsa Indonesia akan tetap menjadi negara damai dan toleran," terangnya.
Ya, dengan menguasai kitab kuning, seseorang dituntut untuk menguasai dua kecakapan. Pertama, mengetahui pengetahuan pada zaman awal, yang kedua, mampu mengkontekstualisasikan ajaran agama ke zaman sekarang dengan baik.
Memahami jihad misalnya, bukan berarti difahami sebagai bentuk perintah untuk perang melawan orang kafir, melakukan aksi teror, bom bunuh diri dan sebagainya.
Memahami agama Islam tidak cukup hanya merujuk kepada Alquran dan hadis, namun kita harus memahami bagaimaan teks Alquran maupun Hadis dipercakapkan dengan konteks yang terjadi. Alquran dan Hadis menggunakan bahasa Arab, tidak cukup memahami hanya dengan terjemahan saja. Pasalnya, kedua sumber utama agama Islam ini mempunyai keunikan tersendiri, diperlukan kajian mendalam untuk memahaminya. Tidak asal comot saja untuk menggunakannya sebagai dalil.
Dalam Alquran ada ayat-ayat yang dimaknai secara global, tapi ada juga yang perlu dimaknai secara khusus. Ada juga lafadnya yang bermakna hakiki dan juga lafadz yang dimaknai secara majazi. Itulah mengapa proses belajar di pesantren sangat diperlukan bagi yang belajar agama dengan serius.
Dengan memahami hal tesebut, tidak akan mungkin ada tafsir tunggal, pasti akan ada perbedaan pendapat. Dengan menunggalkan sebuah tafsir Alquran menunjukkan ketidaktahuan makna. Misalnya, sudah jelas di dalam Alqur'an kita diperintah untuk menutup aurat, namun di mana batas menutup aurat, ulama berbeda pendapat.
Itulah mengapa orang yang serius dalam belajar agama akan nampak bijak dalam menjawab problem masyrakat. Bahkan tak segan untuk mengakui ketidaktahuannya dalam menjawab sebuah pertanyaan.
Sebagaimana sekelas Imam Malik saja hanya mau menjawab 36 pertanyaan dari 42 pertanyaan yang disodorkan kepadanya. Karena dalam setiap jawaban yang dilontarkan akan dimintai pertanggung jawaban, seberapa maslahah kah jawaban itu, atau malah memberikan madharat bagi si penanya.
MQK Nasional menjadi secercah harapan, masih banyak para santri yang belajar agama dengan metode ala pesantren yakni membaca kitab kuning, tidak hanya sekedar dibaca, tapi dikaji dan dikontekstualisasikan ke zaman sekarang. Dan InsyaAllah berbekal itu, Indonesia akan menjadi bangsa yang besar, karena akan tetap menjunjung tinggi perdamaian dan  menghormati perbedaan (rif) Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H