Hari hampir berganti ketika kuterima selarik kalimat tanya itu di inbox FBku. Isinya pendek namun mampu menyita perhatian lebih yang kemudian mengarahkan nalar dan hati untuk menjawabnya dengan jujur. Semoga si pengirim itu tidak keberatan jika tanyanya kujadikan pemantik tulisan ringkas ini. Nuraniku berbisik tanpa menimbulkan berisik bahwa sang penanya yang aku yakin adalah pejuang kehidupan itu pasti bersedia.
"Apakah sudah waktu yang tepat untuk mengucapkan selamat?" Demikian tanya itu berjingkat cepat menuntut jawab. Setelah berpikir sejenak kutekan keyboard ipad. "Â Hehehe .... Apakah ucapan selamat itu untuk keberhasilan melakukan pendidikan politik yg cerdas dan substantif? Kalau iya, tentu sudah waktunya. Kalau ucapan selamat itu untuk suara yang cukup agar terpilih, kita semua tahu bahwa mungkin butuh satu generasi untuk datangnya waktu yang tepat itu. "
Sempat tergumpal sesal setelah kulepas balas. Bukankah kawan ini bersikap sopan dengan niat tulus dan penuh perilaku kewajaran untuk menanyakan apakah aku mendapat suara cukup dalam Pemilihan Legislatif untuk menjadi Anggota DPR RI? Dan jika jawabannya positif, dia berkehendak mengucapkan selamat? Bukankah dia mengirimkan perhatian dan harap yang besar akan terpilihnya diriku? Bukankah seharusnya kutanggapi dengan wajar dan sebongkah rasa terima kasih? Kenapa harus kujawab demikian panjang dan tidak langsung saja bilang "Belum. Kita tunggu dalam waktu dekat ini. Semoga waktu yang tepat itu segera tiba."
Tapi mungkin ada maksud yang mewujud dari alam bawah sadar yang menuntun alam atas sadar dan jemariku mengetik jawaban seperti itu. Yang jelas aku sangat hormat dan terhadap kawan penanya ini. Tidak ada tujuan setipis apa pun untuk mempermainkan dia dengan caraku menjawab. Tidak ada niat sedetikpun yang mencuat untuk berlagak sok keminter dengan isi jawabku. Tiada hasrat untuk tidak merasa terhormat dengan pertanyaan itu. Jika dia tidak mengharapkanku terpilih, tidak mungkin formulasi pertanyaannya akan sedemikian itu.
Semoga kawan itu paham bahwa jawabanku adalah doa. Doa yang aku bantu ucapkan, yang sejatinya menjadi pinta yang sama yang dipanjatkan oleh setiap warga nusantara yang ingin perubahan itu datang dengan cara terpuji. Pemanjat pinta ini sudah capek dengan cara mengikuti Pemilu yang sama setiap lima tahun. Yang selalu diminta memilih tapi tidak diberi risalah yang cukup tentang riwayat dan rincian tekad  yang minta dipilih.
Jadi sebetulnya, akulah yang harus memberi selamat. Kepada setiap kawan yang sepakat dengan caraku ber-Pemilu. Kepada segenap teman yang setuju dengan pendekatan yang lebih mementingkan isi dibanding kemasan sebagai penentu dan dasar penjatuhan pilihan. Kepada siapapun yang percaya bahwa harus ada yang memulai mengamalkan pendekatan yang berbeda itu. Kepada para sahabat yang kemudian bersedia secara sukarela dan ikhlas membantu mengabarkan siapa diriku dan apa saja rencanaku jika terpilih sebagai wakil mereka. Kepada Anda seharusnya ucapan selamat itu ditujukan.
Karena bersama, kita telah menoreh sejarah. Sejarah yang tidak akan diberitakan di koran-koran namun akan Anda ceritakan di meja makan saat makan malam dengan anak dan cucu. Sejarah bahwa pada suatu masa, kita pernah berbuat sesuatu yang terpuji, bermartabat dan beradab bagi tegaknya demokrasi yang berbudi pekerti di bumi pertiwi. Sekali lagi, "Selamat!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H