Mohon tunggu...
Arwan
Arwan Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

Berbuat baik untuk sesama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan sebagai Pisau Bermata Dua: Membangun dan Melawan Kekuasaan

10 Desember 2024   10:37 Diperbarui: 10 Desember 2024   10:37 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan adalah salah satu pilar terpenting dalam pembangunan peradaban. Di satu sisi, pendidikan dapat menjadi alat untuk membangun individu dan masyarakat yang cerdas, kreatif, serta berdaya saing. Namun, di sisi lain, pendidikan juga dapat digunakan oleh kekuasaan untuk mempertahankan hegemoni, menciptakan masyarakat yang patuh, dan membatasi kebebasan berpikir. Dengan kata lain, pendidikan adalah pisau bermata dua: dapat menjadi alat pembebasan, tetapi juga alat penindasan. Tulisan ini akan mengeksplorasi bagaimana pendidikan memiliki peran ganda dalam konteks kekuasaan, baik sebagai instrumen pembangunan maupun sebagai alat perlawanan terhadap dominasi.

Pendidikan sebagai Alat Kekuasaan: Sejarah dan Dinamika

Pendidikan telah lama menjadi alat bagi kekuasaan untuk membentuk masyarakat sesuai dengan agenda politik, ekonomi, atau ideologi tertentu. Sejarah menunjukkan bagaimana penguasa menggunakan pendidikan untuk mempertahankan otoritas mereka. Pada masa penjajahan, pendidikan digunakan untuk menciptakan strata sosial yang menguntungkan penjajah. Di Indonesia, pendidikan kolonial Belanda misalnya, hanya diberikan kepada kelompok elit pribumi untuk mencetak pegawai rendahan yang loyal kepada pemerintah kolonial. Kurikulum dirancang untuk menanamkan rasa inferioritas dan ketergantungan terhadap penjajah. Di negara-negara otoriter, pendidikan sering kali digunakan sebagai alat propaganda untuk mengukuhkan ideologi penguasa. Buku teks, kurikulum, hingga kebijakan pendidikan diarahkan untuk menciptakan warga negara yang tunduk dan mendukung pemerintah tanpa pertanyaan. Ahli teori kritis seperti Antonio Gramsci menyebutkan bahwa pendidikan sering digunakan untuk menyebarkan hegemoni budaya. Melalui kurikulum, norma, dan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah, kekuasaan dapat menciptakan konsensus bahwa sistem yang ada adalah "wajar" dan tidak perlu dipertanyakan.

Pendidikan sebagai Alat Perlawanan: Inspirasi dari Sejarah

Meskipun kekuasaan sering menggunakan pendidikan untuk mengontrol masyarakat, pendidikan juga memiliki potensi besar untuk menjadi alat perlawanan. Sejarah telah membuktikan bahwa pendidikan dapat menjadi senjata ampuh dalam melawan penindasan dan ketidakadilan. Paulo Freire, seorang pendidik asal Brasil, adalah tokoh utama dalam gagasan pendidikan sebagai alat perlawanan. Dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, Freire menekankan bahwa pendidikan harus membebaskan, bukan menindas. Ia menentang model pendidikan "banking system" di mana siswa hanya dianggap sebagai wadah pasif yang diisi oleh guru. Sebaliknya, ia mengusulkan pendidikan dialogis yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan memahami dunia mereka untuk mengubahnya. Di Afrika Selatan, selama era apartheid, pendidikan menjadi arena perlawanan. Siswa-siswa kulit hitam, melalui gerakan seperti Soweto Uprising pada 1976, menentang sistem pendidikan yang diskriminatif dan dirancang untuk memperkuat supremasi kulit putih. Mereka memperjuangkan pendidikan yang setara sebagai hak dasar manusia. Di berbagai negara, muncul inisiatif pendidikan alternatif yang dirancang untuk melawan kurikulum resmi yang dianggap menindas. Misalnya, Escuelas Zapatistas di Chiapas, Meksiko, yang didirikan oleh komunitas adat untuk melawan dominasi negara dan pasar global. Sekolah ini mengajarkan sejarah, budaya, dan bahasa lokal sebagai bentuk pembebasan.

Dinamika di Indonesia: Pendidikan antara Alat Kekuasaan dan Perlawanan

Selama masa Orde Baru, pendidikan di Indonesia digunakan sebagai alat untuk menciptakan stabilitas politik. Kurikulum diarahkan untuk menanamkan ideologi Pancasila versi pemerintah, yang lebih menekankan loyalitas kepada penguasa daripada pemikiran kritis. Buku-buku sejarah juga disusun untuk mendukung narasi pemerintah, sementara topik-topik yang dianggap sensitif, seperti pelanggaran HAM, dihapuskan dari materi ajar. Namun, di sisi lain, lembaga pendidikan juga menjadi pusat perlawanan terhadap kekuasaan. Pada masa Reformasi 1998, mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia memimpin gerakan untuk menggulingkan rezim otoriter Suharto. Demonstrasi, diskusi, dan organisasi mahasiswa menjadi alat untuk menyebarkan kesadaran politik dan menuntut perubahan. Saat ini, meskipun Indonesia telah menjadi negara demokrasi, pendidikan masih menghadapi tantangan besar. Kurikulum sering kali tidak mendorong siswa untuk berpikir kritis, melainkan fokus pada hafalan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa politisasi pendidikan masih terjadi, dengan upaya dari kelompok tertentu untuk memasukkan agenda ideologis ke dalam sistem pendidikan.

Membangun Pendidikan yang Membebaskan

Untuk memastikan bahwa pendidikan menjadi alat pembebasan dan bukan penindasan, beberapa langkah penting perlu diambil: Pendidikan harus dirancang untuk mendorong siswa berpikir kritis, mempertanyakan status quo, dan mencari solusi inovatif untuk masalah yang ada. Ini dapat dicapai melalui metode seperti diskusi terbuka, debat, dan pembelajaran berbasis proyek. Kurikulum harus dirancang secara independen dari intervensi politik. Fokusnya harus pada pengembangan kemampuan intelektual, moral, dan sosial siswa, bukan pada penyebaran ideologi tertentu. Guru harus diberdayakan untuk menjadi agen perubahan. Ini membutuhkan pelatihan yang tidak hanya berfokus pada teknik mengajar, tetapi juga pada pemahaman tentang keadilan sosial, demokrasi, dan hak asasi manusia. Ketimpangan dalam akses pendidikan harus diatasi. Pendidikan yang membebaskan hanya dapat dicapai jika semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, tanpa memandang latar belakang ekonomi, gender, atau etnis.

Pendidikan adalah pisau bermata dua: dapat digunakan untuk membangun atau menghancurkan, untuk membebaskan atau menindas. Sejarah menunjukkan bahwa pendidikan sering kali digunakan oleh kekuasaan untuk mempertahankan hegemoni, tetapi juga memiliki potensi besar untuk menjadi alat perlawanan dan pembebasan. Di Indonesia, pendidikan harus menjadi sarana untuk memberdayakan individu dan masyarakat, bukan alat untuk mempertahankan dominasi kekuasaan. Dengan memastikan bahwa pendidikan mendorong pemikiran kritis, inklusivitas, dan kebebasan intelektual, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil, demokratis, dan sejahtera. Masa depan bangsa ditentukan oleh pendidikan hari ini. Pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan menggunakan pendidikan sebagai alat kekuasaan atau sebagai senjata pembebasan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun