Mohon tunggu...
Arwan Patiri
Arwan Patiri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi/21107030001

Seorang mahasiswa yang masih belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Upacara Kematian di Tana Toraja

9 Mei 2022   05:28 Diperbarui: 11 Mei 2022   17:55 2403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : merdeka.com

Budaya di Indonesia sangat banyak dan disetiap daerah budayanya pasti berbeda-beda termasuk di Toraja, yaitu salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan. Rambu Solo' merupakan budaya Toraja yang sangat terkenal di Indonesia. Rambu Solo’ adalah ritual adat Suku Toraja untuk memakamkan orang yang meninggal dunia.

Di Toraja mayoritas beragama Kristen sekitar 70%, pemeluk agama Islam sekitar 20% dan pemeluk Aluk Todolo sekitar 10%. Aluk Todolo mempunyai kepercayaan animisme atau Puang Matua. Aluk Todolo ini merupakan kepercayaan yang paling tua di Toraja dan ajarannya dipengaruhi oleh Hidup Konfusius dan agama Hindu. Sehingga pemerintah menggolongkan agama Aluk Todolo ini dalam sekte agama Hindu Darma.

Upacara Rambu Solo’ merupakan pencampuran antara budaya dan kepercayaan suku Toraja. Biasanya pelaksanaan Rambu Solo’ dari serangkaian acara bisa memakan waktu tiga sampai tujuh hari. Pelaksanaannya berupa unsur-unsur budaya, agama, dan pestanya diadakan besar-besaran, bahkan dikenal sebagai upacara kematian termahal di dunia.

Pencampuran budaya dan agama bisa disaksikan ketika proses penyambutan tamu, yaitu saat doa-doa dipanjatkan serta menyanyikan kidung-kidung. Mereka akan menyanyikan secara berkelompok dan bersamaan sebagai pengormatan bagi yang telah meninggal dunia.

Rambu Solo’ ini wajib diselenggarakan bagi mereka yang ditinggalkan, karena menurut keyakinan mereka, kematian seseorang itu akan membawa malapetaka jika ritual Rambu Solo’ tidak dilakukan dan akan membahayakan bagi keluarga yang ditinggalkan berupa kesialan.

Biasanya jika yang melaksanakan Rambu Solo’ adalah keluarga dari orang kaya kaya maka acaranya akan seru dan ramai dengan orang-orang diluar daerah. Rambu Solo’ atau upacara pemakaman ini kadang-kadang digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun sejak kematian orang tersebut atau yang bersangkutan.

Kenapa upacara pemakamannya digelar setelah berminggu-minggu atau bertahun-tahun ?, Karena keluarga dari orang yang mati masih butuh waktu untuk mengumpulkan uang untuk biaya pemakaman yang akan digelar. Kapan dimulainya acara Rambu Solo'?, 

jadi mulainya tergantung keluarga dari yang bersangkutan. Biasanya keluarga dari orang bersangkutan akan mengadakan musyawarah dan mufakat mereka. Paling cepat itu mulainya tidak sampai seminggu dan paling lama bertahun-tahun hingga sampai puluhan tahun.

Bagi mereka yang memiliki kekayaan yang lebih, biasanya prosesi pemakaman didahului dengan adu kebau. Kerbau yang diadu bukan kerbau sembarangan tetapi kerbau pilihan yang harganya bukan main. Kerbau yang dipilih itu seperti tedong salepo, lontong boke, tedong pudu dan kerbau yang paling familiar itu tedong bonga.

Untuk harga kerbau, paling murah itu tedong pudu harganya sekitar 40-50 jutaan dan paling mahal tedong bonga dengan harga sekitar 1 Miliar bahkan lebih, tergantung kualitas kerbaunya. Pemilihan kerbau ini tentunya sesuai isi kantong ya.

Sumber gambar : tempo.com
Sumber gambar : tempo.com

Adu Kerbau ini atau biasanya orang Toraja menamakan Tedong Silaga menjadi hiburan bagi masyarakat Toraja. Masyarakat saling gotong royong untuk membangun pondok-pondok sebagai tempat pesta Rambu Solo’ nantinya. Bahkan banyak wisatawan turis yang datang jauh-jauh untuk melihat pesta ini karena dianggap unik dan menghibur.

Acara Tedong Silaga dan rangkaian upacara kematian lainnya memang menghabiskan biaya yang mahal. Tapi karena ini sudah menjadi tradisi dan disakralkan sehingga masyarakat masih melakukannya sampai sekarang.

Selain Tedong Silaga, acara Rambu Solo’ ini juga diisi dengan penyembelihan kerbau dan babi. Dalam satu kali acara, anggota keluarga wajib menyembelih minimal 24 ekor kerbau dan 300 ekor babi dengan harga sepuluh hingga ratusan juta.

Suku Toraja punya kepercayaan bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk perjalanannya menuju Surga dan semakin banyak kerbau yang disembelih maka semakin cepat pula proses arwag ini menuju ke Surga.

Penyembelihan kerbau dan ratusan babi ini adalah puncak dari upacara pemakaman. Upacara pemakaman atau Rambu Solo’ diiringi aluan musik dan tarian para pemuda yang sedang menangkap darah sembelihan babi. Darah babi tersebut kemudian dimasukkan ke bambu yang Panjang.

Setelah daging kerbau dan babi sudah disembelih dan dipotong-potong, maka sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena itu dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Rangkaian terakhir Rambu Solo’ adalah Ma’palao atau Ma’pasonglo yaitu proses pengantaran jenazah  dari rumah ke tempat pemakaman yang disebut Lakkian. Pengantaran jenazah ini dilakukan oleh kerabat secara beramai-ramai. Mereka membawa jenazah si mayit yang sudah dibungkus dengan kain dan sudah dimasukkan kedalam peti.

Dalam perjalanan para pembawa peti ini yang berisi mayit diiringi dengan nyantian syair. Nyanyian syair ini disebut kadong-badong yang berisi banyak kisah hidup dan sikap terpuji sebagai pengagungan kepada mayit.

Sesampainya di makam kuburan atau gua maka jenazah itu dimasukkan kedalam gua tersebut. Ada juga dari kalangan suku Toraja yang memasukkan jenazah ke kuburan yang dibuat seperti rumah pada umumnya. Biasanya jikalau jenazah itu orang kaya, penguburannya di makam batu berukir.

Makam tersebut selain mahal juga pembuatannya membutuhkan waktu yang agak lama sekitar beberapa bulan. Di sebagian daerah saya, gua batu digunakan untuk semua anggota keluarga yang meninggal. Dan ada juga yang tidak menerapkan itu.

Dalam kepercayaan masyarakat Suku Toraja (Aluk Todolo) bahwa semakin tinggi jenazah diletakkan maka semakin cepat arwah atau roh jenazah itu sampai ke Surga. Segala sesuatu acara di Tana Toraja harus melibatkan adat-istiadat setempat untuk menghormati nenek moyang mereka.

Seiring berkembangnya teknologi yang serba canggih ini, kehidupan Suku Toraja yang sebagian sudah merantau ke negeri orang dan pendidikan orang Toraja sudah memperoleh pendidikan yang bagus sehingga adat-istiadat mulai dilupakan.

Disisi lain, masyarakat Suku Toraja mengalami kesenjangan sosial karena memaksakan untuk melakukan adat Toraja. Sebab, Sebagian masyarakat Suku Toraja ini menanggapi tentang rasa gengsi dan harga diri mereka dalam memperjuangkan adat-istiadat.

 

Arwan Patiri 9/5/2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun