Negara berkembang seperti Indonesia dalam membangun tidak mungkin dilakukan tanpa investasi besar-besaran (the big push theory).
Pemerintah orde baru telah membuka jalan seluas-luasnya untuk modal asing dari luar negeri untuk diinvestasikan di Indonesia.
Dari sejak di canangkannya repelita pertama 1969/70-1973/74 sampai dengan repelita berikutnya, bahkan setelah pemerintah orde baru tumbang dan kemudian digantikan pemerintah orde reformasi sekarang ini, pemerintah tetap setia menggunakan dana bantuan negara asing sebagai suatu komponen dalam pembangunan ekonomi.
Akibat dari seringnya menggunakan dana asing adalah, kini Indonesia telah dibebani dengan membengkaknya jumlah utang luar negeri hingga pemerintah merasa berat untuk melunasi bukan hanya pada pokok pinjaman tetapi juga pada bunga pinjaman setiap kali datang jatuh tempo. [1]
Utang yang jumlahnya terlampau besar dan trennya bertambah besar di waktu yang akan datang pasti mempersulit pemerintah dalam melakukan pembangunan ekonomi.
Dana yang kian menipis karena harus membayar cicilan bunga dan pokok pinjaman membuat pemerintah terkendala dalam membiaya kebutuhan rutin dan kesulitan dalam membiayai pembangunan. Padahal, aset untuk konsumsi modal dalam jumlah yang sangat besar sangat penting untuk membuka pintu kerja dan memberikan insentif tambahan untuk bantuan pemerintah bagi masyarakat Indonesia.
Yang pasti, dapat dibayangkan bahwa otoritas publik 'ngemplang' (tidak membayar) kewajiban kepada negara asing, tetapi justru akan menurunkan posisi Indonesia dan melenyapkan kekuatan Indonesia menurut wilayah lokal dunia. Persoalannya, apakah ada pilihan untuk melunasi kewajiban Indonesia kepada negara-negara jauh yang pada umumnya akan terus bertambah hingga saat ini?[2]
Beberapa berpendapat bahwa penurunan kewajiban asing Indonesia harus dimungkinkan oleh perdagangan (perdagangan kewajiban untuk alam). Namun, satu penilaian lagi mengatakan bahwa penggantian kewajiban melalui perdagangan biasanya hanya dilakukan dengan pertemuan rahasia, dengan kemitraan global, sangat diharapkan untuk negara berdaulat seperti Republik Indonesia tercinta. Ada individu yang bersikap negatif dan ada pula yang berharap menganggap perdagangan sebagai pilihan untuk melunasi beban kewajiban Indonesia kepada negara-negara jauh. Ini cenderung diteliti dalam komunikasi yang luas, seperti dikutip di bawah.[3]
Peran Indonesia dalam G20 sangat penting, terutama karena telah menjabat sebagai presiden kelompok tersebut sejak Desember 2021. Forum antar pemerintah yang dibentuk pada 1999 ini menunjukkan bahwa Indonesia dapat diterima oleh negara-negara maju G20 lainnya. Grup eksklusif ini berfungsi sebagai forum internasional bergengsi bagi Indonesia untuk mengadvokasi kepentingan nasionalnya serta kepentingan negara berkembang lainnya. Indonesia dapat memanfaatkan peluang untuk memperkuat simpati internasional secara simbolis sekaligus mendapatkan kepercayaan dan soliditas dari negara berkembang lainnya.
Diharapkan, ketika memimpin presidensi G20, akan meningkatkan komitmen dan pengaruh Indonesia dalam kerjasama internasional, seperti yang dilakukan di berbagai forum internasional dari tahun 1960-an hingga 1990-an. Forum G20 memberikan berbagai peluang dan potensi yang sangat strategis bagi kepentingan internasional Indonesia, serta mendorong kemitraan global yang dapat secara bersama memperjuangkan kepentingan negara berkembang lainnya.
Indonesia mempunyai peran strategis sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan pembangunan yang relatif stabil di berbagai sektor dapat menjadi aktor penggerak dan perwakilan negara berkembang. Posisi ini dapat digunakan Indonesia untuk memperkuat diplomasi ekonomi berbasis pada kesetaraan dan untuk meningkatkan akses ekonomi bagi sesama negara berkembang lainnya.[4]
Sebagai salah satu anggota G-20, Indonesia bisa mendapat manfaat dari akses awal berbagai informasi dan pengetahuan tentang perkembangan ekonomi global dan potensi risiko yang dapat ditimbulkan oleh negara lain, khususnya negara maju. Berdasarkan data yang diperoleh tersebut, kedepan Indonesia dapat mengembangkan kebijakan ekonomi terbaik dan paling tepat sesegera mungkin, termasuk mengembangkan forum negara berkembang lainnya. Perjuangan kepentingan nasional Indonesia lewat forum ini dinilai cukup kredibel untuk membuahkan hasil, terbukti dengan adanya pengakuan dari berbagai organisasi dan forum internasional.
Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia, perekonomian global mengalami penurunan, baik negara maju maupun negara berkembang. Akibatnya, Sri Lanka effect yang merupakan fenomena ketidakberdayaan di negara berkembang yang menghadapi debt default, juga dapat terjadi di negara berkembang lainnya yang stabilitas dan pemulihan ekonominya masih terhambat. Lalu, bagaimana cara negara berkembang agar terhindar dari Sri Lanka effect?
Maka itu, harus menjadi salah satu kekuatan strategis yang harus dibangun dan dipelihara untuk menjamin kelangsungan hubungan antara negara maju dan negara berkembang, sesuai dengan semangat kerjasama internasional. Dukungan negara maju kepada negara berkembang berupa kebijakan penangguhan utang luar negeri kepada negara berkembang menjadi contohnya. Di tengah pandemi Covid-19 yang melanda dunia, G.20 telah membantu negara berkembang dengan menunda pembayaran utang luar negeri dan merestrukturisasi utang luar negeri kepada negara miskin dan berkembang guna meningkatkan kapasitas dalam menghadapi pandemi sekaligus meningkatkan pengelolaan utang. kapasitas untuk mendukung pemulihan ekonomi jangka panjang.[5]
Lembaga keuangan internasional memberi dukungan inisiatif tersebut dengan memfasilitasi penyediaan dana perwalian untuk membantu negara-negara miskin dan berkembang. Forum akan terus mempromosikan hasil nyata dan transparan. Pemerintah Indonesia dalam hal mendorong negara-negara miskin dan berkembang untuk melunasi utang mereka melalui penerapan kerangka kerja bersama.
Sejalan dengan itu, pandemi COVID-19 tidak berdampak pada perdagangan internasional atau rantai pasok keuangan. Untuk mengatasi hal ini, presidensi G20 Indonesia akan membahas multi-mata uang dalam perdagangan dan pembiayaan, dengan manfaat dan biaya yang seimbang. G20 juga akan berkomitmen untuk memperkuat Jaring Pengaman Keuangan Global untuk membantu negara-negara menyelesaikan persoalan gejolak ekonomi global.
Menurut Laporan Keuangan Global 2021, Indonesia merupakan negara berkembang yang paling berhutang ke-6 di dunia (daftar tanpa China). Indonesia, khususnya, memiliki utang yang tumbuh setiap tahun. Berdasarkan tabel laporan, Indonesia memiliki utang luar negeri sebesar USD 179,4 miliar pada tahun 2009. Pada tahun 2015, jumlah tersebut meningkat sebesar USD 307,74 miliar. Jumlah tersebut kemudian meningkat menjadi USD 318,94 miliar pada 2016. Utang Indonesia meningkat dari USD 353,56 miliar pada 2017 menjadi USD 379,58 miliar pada 2018, dan USD 402,08 miliar pada 2019.
Utang jangka panjang menjadi pemasok utang terbanyak pada 2019, dengan jumlah total nilai USD354,5 miliar, tertinggi sejak 2009. Sedangkan utang jangka pendek berjumlah total nilai USD 44,799 miliar pada 2019. Brasil, India, Rusia, Meksiko, dan Turki adalah lima negara dengan utang luar negeri paling tinggi, diikuti oleh Indonesia. Berikut posisi utang sepuluh negara rendah-menengah dengan utang tertinggi, di luar China:
Brasil USD 569,39 miliar
India USD 560,03 miliar
Rusia USD 490,72 miliar
Meksiko US$ 469,72 miliar
Turki USD 440,78 miliar
Indonesia USD 402,08 miliar
Argentina USD 279,30 miliar
Afrika Selatan USD 188,10 miliar
Thailand USD 180,23 miliar
Pengalaman Indonesia yang dalam sejarah pernah menghadapi krisis moneter pada tahun 1997, telah setidaknya membentuk best practice, menunjukkan bahwa penyelesaian mengenai utang bukanlah suatu tugas yang mudah. "Masalah serius dan berbagai rintangan untuk berhasil menyelesaikan krisis utang masih berlangsung," kata Nicholas F Brady pada pertemuan tahunan Komite Bretton Woods pada 10 Maret 1989, dan strategi yang ada harus diperkuat. Brady memakai istilah "pengurangan utang" untuk pertama kalinya.[7]
Untuk mendorong bank komersial agar mau bekerja dengan negara-negara debitur untuk mengembangkan alternatif yang lebih luas untuk bantuan keuangan, seperti upaya yang lebih keras untuk mencapai pengurangan utang dan pengurangan pembayaran, serta penyediaan pinjaman baru menuju kelayakan kredit yang lebih besar, dan jalan kembali ke pasar bagi kreditur mana pun yang membutuhkan pengurangan utang. Brady bahkan melangkah lebih jauh, mendesak IMF dan Bank Dunia untuk menyisihkan dana untuk rencana pengurangan utang tertentu, dengan mengatakan bahwa "pemerintah kreditur harus mempertimbangkan cara untuk mengurangi hambatan peraturan, pelaporan, atau pajak untuk pengurangan utang." "Debt for nature swaps."
pertama kali didirikan pada 1980-an dalam upaya untuk memecahkan dua masalah dengan satu kesepakatan: (1) meminimalkan dampak negatif utang pada negara-negara berkembang; (2) meminimalkan kerusakan lingkungan yang sering disebabkan oleh negara-negara berkembang." Beberapa contoh bagaimana debt-for-nature swaps telah berkembang di negara-negara Dunia Ketiga (Hinsa Siahaan, 2006) Pengalaman Indonesia yang pernah menghadapi krisis moneter pada tahun 1997, setidaknya telah membentuk praktik terbaik, menunjukkan bahwa masalah penyelesaian utang bukanlah suatu hal yang mudah. tugas. "Masalah serius dan berbagai rintangan untuk berhasil menyelesaikan krisis utang masih berlangsung," kata Nicholas F Brady pada pertemuan tahunan Komite Bretton Woods pada 10 Maret 1989, dan strategi yang ada harus diperkuat lagi.
Brady menggunakan istilah "pengurangan utang" untuk pertama kalinya untuk memberi dorongan bank komersial bekerja sama dengan negara-negara debitur untuk mengembangkan alternatif bantuan keuangan yang memiliki jangkauan lebih luas, seperti upaya yang lebih keras untuk mencapai pengurangan utang dan pengurangan pembayaran, serta penyediaan pinjaman baru untuk kelayakan kredit yang lebih besar, dan jalan kembali ke pasar untuk setiap kreditur yang membutuhkan pengurangan utang. Brady bahkan melangkah lebih jauh, merekomendasikan agar IMF dan Bank Dunia menyisihkan dana untuk rencana pengurangan utang tertentu, dengan menyatakan bahwa "pemerintah kreditur harus mempertimbangkan cara untuk mengurangi hambatan peraturan, pelaporan, atau pajak untuk pengurangan utang."[8]
"Debt for nature swaps pertama kali dilakukan pada 1980-an dalam upaya untuk memecahkan dua masalah dengan satu kesepakatan: (1) meminimalkan dampak negatif utang pada negara berkembang; (2) meminimalkan kerusakan lingkungan yang sering disebabkan oleh negara berkembang." Beberapa contoh bagaimana debt-for-nature swaps telah berkembang di negara-negara Dunia Ketiga (Hinsa Siahaan, 2006):
Ekuador. Pertama kali pada tahun 1989. “World Wildlife menjadi pelopor pertukaran hutang untuk alam dan berhasil melakukan pertukaran pertama di Ekuador pada tahun 1989. Sejak saat itu, WWF telah memainkan peran penting dalam menerapkan skema pertukaran hutang untuk alam di dunia.”
Bolivia. Karena besarnya jumlah utang luar negeri Indonesia dan tingkat kerusakan hutan, “debt-for-nature swaps” sepertinya merupakan solusi yang tepat. Dalam skema ini, sebagian dari utang publik suatu negara dibeli oleh pihak ketiga dengan diskon besar. Hutang tersebut kemudian dibatalkan. Negara ini berjanji untuk melindungi berbagai l juta hektar hutan sebagai imbalannya. Organisasi konservasi besar seperti Conservation International yang berdomisili di AS, Rainforest Alliance, dan WWF telah dengan secara aktif mempromosikan transaksi tersebut. Pertukaran "utang untuk alam" pertama terjadi pada tahun 1987 di Bolivia. Sejak itu, kesepakatan serupa telah dilakukan di dua puluh negara, termasuk Kosta Rika, Ekuador, Filipina, dan Madagaskar (The Ecologist MeiJuni 1992).
Panama. Duta Besar Linda E. Watt mengumumkan pada tanggal 8 April 2003 bahwa Panama telah memenuhi syarat untuk program utang-untuk-alam pemerintah AS yang akan menggelontorkan setidaknya $5,6 juta untuk melestarikan Taman Nasional Chagre.
Menurut Hinsa (2006), pemerintah mesti melakukan "utang-utang fornature". Kementerian Keuangan harus terlebih dahulu menginventarisasi semua utang luar negeri, kemudian menghitung nilai totalnya, tanggal jatuh tempo, negara kreditur, dan apakah hukum negara kreditur membenarkan dan mengizinkan "utang untuk alam" atau tidak. Ini tidak membenarkan adanya "hutang untuk hutang alam," seperti yang dilakukan hukum di Jepang. Keputusan untuk menukar utang dunia ketiga hanya dengan janji perlindungan lingkungan kepada negara kreditur kemungkinan akan ditolak oleh parlemen di negara kreditur.
Pemerintah Indonesia, misalnya, telah mengambil langkah-langkah berikut: Kementerian keuangan harus menyiapkan negosiator (tim perunding) untuk mendekati parlemen, seperti parlemen Jepang, untuk membujuk Jepang menghapus atau setidaknya mengurangi utang Indonesia. , yang telah cukup melunais atau menukarnya hanya dengan janji (komitmen) pemerintah Indonesia untuk selalu menjaga dan memelihara lingkungan alam Indonesia. Tim negosiator dalam kasus ini mengambil pendekatan yang unik terhadap isu Millenium Development Goals (MDGs). Swap menghapuskan kebutuhan pemerintah untuk mengeluarkan uang untuk mengurangi utang luar negeri negara. Uang yang disisihkan untuk keperluan melunasi utang luar negeri nantinya dapat digunakan untuk membeli peralatan investasi.[9]
Posisi strategis yang dimiliki Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang diperhitungkan dengan kuat dengan pengalaman dalam berbagai forum kerjasama global melalui basis pendekatan geoekonomi dan geopolitik sangat mungkin untuk bisa menyuarakan dan memperjuangkan agenda pemulihan dan penyelamatan ekonomi dan keuangan negara berkembang, wabil khusus dalam konteks ketahanan ekonomi dan keuangan baik dalam konteks pemulihan ekonomi pasca Covid 19,
Swap atau kesepakatan pertukaran antara uang dengan uang, tingkat bunga dengan tingkat bunga yang lazim digunakan oleh perusahaan swasta, dapat juga digunakan pemerintah negara dunia ketiga yang punya banyak utang kepada negara maju. Akan tetapi, dalam bentuk pertukaran utang dengan janji pemerintah untuk melestarikan lingkungan hidup, melindungi binatang buas, atau janji menghilangkan daerah kumuh di negara miskin yang banyak utang.
Karena penggunaan “a debt-for-nature swap” menguntungkan semua pihak, membuat semua pihak bahagia, dan memperhatikan pengalaman negara lain, pemerintah Indonesia cq Departemen Keuangan seyogianya harus optimis dapat menggunakannya secara optimal untuk mengurangi utang luar negeri. Sehingga, target untuk memperkecil rasio utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun, sebagaimana ditargetkan dalam Road Map Departemen Keuangan, akan tercapai. Caranya adalah dengan mempersiapkan tim analisis utang luar negeri profesional dan team negosiator yang tangguh yang penuh dedikasi dan cinta tanah air. Team negotiator itu akan mengkaji utang luar negeri dan berunding dengan negara pemberi utang yang bersedia menghapuskan utang Indonesia dengan cara a debt-for-nature swap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H