Mohon tunggu...
Arvin Ngabut
Arvin Ngabut Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Asas Diskresi: Tolok Ukur dan Dilematika

6 Juni 2018   17:05 Diperbarui: 6 Juni 2018   17:54 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Secara garis besar, Indonesia dalam paham materiil menganut aliran negara kesejahteraan (walfare state). Dalam aliran ini, negara sepenuhnya mengutamakan kesejahteraan rakyatnya baik dalam hal peraturan, kebijakan, atau praktek langsung dilapangan serta semua hal mengenai kesejahteraan masyarkat lainnya, bukan hanya masyarakat dalam konteks keamanan saja. 

Dengan dianutnya paham ini oleh pemerintah Indonesia, maka hal ini berkonsekuensi pada pemerintah dimana mereka harus turut serta ikut campur dalam segala hal dalam kehidupan masyarakat yang menyangkut kesejahteraan, baik dalam hal ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. 

Dipenuhinya konsep pemikiran diatas, maka pemerintah Indonesia telah memenuhi tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 alinea keempat yang berbunyi:

"... untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial..."

Dengan melihat Indonesia pada era modern ini, kita bisa melihat bahwa permasalahan yang dihadapi bersifat multidimensional dan tak jarang membutuhkan penanganan yang cepat. 

Penanganan harus berlandaskan hukum untuk setiap langkah atau kebijakan yang diambil, sementara kita tahu bahwa tidak semua permasalahan sudah memiliki atau dibuatkan peraturan yang berkejuatan hukum tetap dalam bentuk peraturan perundang-undangan dalam penyelesaiannya. 

Selain itu, jika menunggu pembentukan peraturan yang diharapkan tersebut, baik melalui anggota dewan atau pihak berwenang lain, membutuhkan waktu yang tidak singkat sementara permasalahan atau kasus yang dihadapi membutuhkan keputusan penanganan yang bersifat gerak cepat. Selain bersifat multidimensional.

Masalah di Indonesia ada pula yang bersifat regional parsial yang berarti suatu masalah tertentu terjadi dibagian daerah tertentu yang bersifat regional atau parsial dari nasional, sementara tidak semua atau lebih tepat sebagian besar daerah di Indonesia tidak mengalami permasalahan yang sama. Penulis menyebutnya sebagai "masalah rumah tangga Daerah. 

Tentunya hal ini juga membutuhkan penanganan yang berbeda dan cepat pula, sementara belum tentu peraturan daerah telah dibuat untuk kasus yang dihadapi tersebut. Dalam permasalahan yang dipaparkan penulis di atas, kita mengamini bahwa tidak semua peraturan tertulis telah mencakup atau dapat dipakai dalam menyelesaikan suatu kepentingan atau masalah tertentu. 

Dalam hal seperti ini dibutuhkan suatu wewenang di luar peraturan perundang-undangan untuk seorang pejabat pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk kepentingan umum dalam mengambil keputusan atau kebijakan di luar yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, sejauh untuk kepentingan dan kesejahteraan umum. 

Dengan adanya wewenang ini diharapkan kebijakan yang diambil oleh pejabat Negara tersebut dapat membawa dampak positif dalam kesejahteraan rakyat dalam hidup bernegara.

ASAS DISKRESI DAN TOLOK UKUR PENGGUNAANNYA

Dalam praktek bernegara, di beberapa Negara termasuk Indonesia, dianut asas untuk melakukan suatu kewenangan dan untuk memutuskan oleh pejabat pemerintahan yang bersumber dari: a) Wet Matig (Peraturan Perundang-Undangan sebagai Landasan) Landasan ini merupakan landasan ideal karena bersumber dari sumber hidup bernegara yang ideal, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, TAP MPR, dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang masih berlaku. 

Asas ini tertulis sehingga memiliki kekuatan hukum tetap dan dapat menjadi acuan pokok oleh pejabat Negara yang berwenang dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. b) Doel Matig (Kebijakan sebagai Landasan) Asas ini berlandaskan pada kebijakan pribadi setiap pejabat pemerintahan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi dengan dasar pemikirannya sendiri sehingga diperbolehkan mengenyampingkan peraturan perundang-undangan tertulis yang ada. Hal ini disebut dengan asas diskresi. 

Asas ini tidak mengenyahkan peraturan perundang-undangan sedemikian rupa, akan tetapi tindakan yang didasarkan atas pemikiran/rasio pribadi pejabat pemerintah tersebut harus dapat diuji dengan asas legalitas yang ada, misalnya asas pemerintahan yang baik. Hal ini agar tidak terjadi penyalagunaan jabatan atau wewenang yang melekat pada pejabat tersebut. Di Indonesia juga berlaku asas diskresi ini. 

Akan tetapi hal yang terlihat baik dan mendukung kemajuan hidup berenegara ini tidak dengan sendirinya berdampak baik secara das ding an sich, Tentunya setiap hal yang diambil memiliki sisi posistif dan negative. 

Banyak kalangan yang setuju dengan praktek dari asas ini, akan tetapi tidak sedikit pula yang kontra dengan asas ini merasa tindakan yang diambil atas nama asas diskresi merusak tatanan sosial atau bahkan menganggu ruang privat subek hukum tertentu. 

Hal-hal tersebut ridak bisa diamini begitu saja, tetapi juga tidak bisa dikesampingkan pula. Untuk melihat apakah suatu tindakan yang berpayungkan atau mengatasnamakan asas diskresi ini benar atau tidak secara hukum dan demi kepentingan bersama secara umum, kita perlu melihat batasan atau tolok ukur dari penggunaaan asas ini. 

Menurut Muchsan, ada 4 (empat) batasan yang menjadi tolok ukur dalam penggunaan atau praktek asa diskresi ini, yaitu: a) Apabila terjadi kekosongan hukum (Recht Vacuum). Hal ini dapat dilihat perwujudannya ketika realita permasalahan dimasyarakat berjalan lebih cepat disbanding hukum positif (tertulis) yang sedang berlaku, sedangkan permasalahan atau kasus tersebut membutuhkan kepastian hukum dan tindakan yang cepat pula. b) Apabila ada kebebasan penafsiran Ketika suatu produk hukum atau peraturan perundang-undangan memiliki banyak penafsiran atau interpretasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan atau kabur atau makna ganda (ambigu), maka pejabat pemerintahan berhak untuk melakukan penafisran sesuai dengan pemikiran dan pemahamannya sendiri dalam keputusan atau kebijakan untuk tindakan yang akan diambil c) Apabila ada pelimpahan wewenang atau delagasi undang-undang Apabila undang-undang melimpahkan wewenang kepada kepada pejabat pemerintahan, maka pejabat tersebut berhak melakukan dan mempraktekan asas diskresi ini. d) Demi kepentingan umum Asas diskresi dilakukan terutama demi kebaikan dan kepentingan umum. Hal ini bisa dilakukan apabila belum ada peraturan peundang-undangan yang mengatur suatu kasus yang dihadapi oleh pejabat tersebut sementara kasus itu membutuhkan penanganan yang tepat.

Dengan demikian, kehadiran asas diskresi dalam hukum tata pemerintahan di Indonesia sangat signifikan karena asas ini diberikan tidak dengan kebebasan sepenuhnya untuk pejabat pemerintahan, melainkan dengan batasan-batasan yang dapat dikatakan bersifat yuridis karena batas-batas itu harus diketahui dan harus dapat dipertanggungjawabkan dalam pengujiannya berdasarkan atas asas pemerintahan yang baik. 

Dengan adanya asas ini, pejabat Negara dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan diharapkan maksimal sehingga kehidupan kesejahteraan rakyat dipenuhi. Asas pemerintahan yang baik sangat melekat pada asas diskresi ini karena apabila pejabat Negara menyalahgunakan wewenangnya, dia dapat di gugat di Pengadilan Tata Usaha Negara dan hakim akan menggunakan asas pemerintahan yang baik sebagai batu uji dalam pertimbangannya

DILEMATIKA ASAS DISKRESI

Asas ini memiliki dilematika yang cukup mendalam. Seperti halnya kehidupan dimana sesuatu yang baik diikuti suatu yang buruk, atau sebaliknya, demikian pula asa diskresi ini. Kebijakan menurut rasio pejabat pemerintahan sendiri diperbolehkan oleh hukum dalam tata pemerintahan Indonesia karena dianut asas diskresi. Namun demikian, dilematika asas ini dirasa cukup pelik. 

Di satu sisi, penggunaan asas ini bisa membantu percepatan pertumbuhan pembangunan nasional dengan segala kelebihannya, namun di sisi lain praktek asas ini bersifat fragile karena praktek asas ini mudah terjadi penyalahgunaan wewenang. Akan tetapi, apabila pemerintah takut atau ragu melakukan asas diskresi ini, maka tujuan pemerintahan dalam pembangunan nasional yang bersifat mulia, adil, dan demi kesejahteraan tidak bisa terwujud dan pembangunan akan terhambat.

Asas diskresi dalam tata hukum pemerintahan Indonesia memberikan dampak yang cukup signifikan dalam kenegaraan di Indonesia. Walaupun menurut beberapa kalangan memiliki kekurangan dalam prakteknya, namun asas ini cukup memberi andil yang besar bagi kemajuan pembangunan bangsa Indonesia. 

Asas diskresi memberi wewenang yang cukup luas kepada pejabat Negara untuk melaksanakan tugasnya dengan pengambilan keputusan diluar peraturan perundang-undangan demi kepentingan bersama. Hal ini sangat perlu karena tidak semua produk hukum mampu mencakup semua permasalahan yang ada dan yang akan dating. 

Bagaimanapun, asas diskresi ini sangat diperlukan dalam sistem walfare state, selain karena mampu membantu kemajuan pembangunan, asas ini diberikan dengan batasan dan tidak dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu, asas ini begitu penting dan perlu untuk semakin kembangkan dengan baik untuk kemajuan kehidupan dan pembangunan bangsa Indonesia. (Arvin Ngabut, 06/06/2018)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun