Surat An-Nisa ayat 6 ini mencakup tiga hal pokok, yaitu pendidikan anak yatim, hukum memakan harta anak yatim, dan penyerahan harta anak yatim kepadanya.
Pertama, berkaitan dengan pendidikan, wali diperintahkan oleh Allah SWT agar menguji anak yatim dalam urusan pengelolaan harta dan urusan agamanya sampai usia yang layak untuk nikah, yaitu dengan memenuhi dua syarat, satu: rusydu dengan maksud anak yatim telah cakap dalam urusan mengelola hartanya dan urusan agamanya; dan dua: mencapai usia baligh dengan ihtilam (keluar air mani), keluar darah haid atau mencapai usia 15 tahun qamariyah. Bila dalam usia baligh anak yatim sudah cakap dalam kedua urusan tersebut, maka wali yatim diperintahkan untuk menyerahkan harta mereka kepadanya. Demikian menurut Imam As-Syafi'i.
Kedua, berkaitan dengan memakan harta anak yatim, dalam ayat ini Allah melarang wali memakan harta anak yatim secara berlebihan dan khawatir anak yatim beranjak dewasa yang berkonsekuensi pada wali harus menyerahkah harta anak yatim kepada mereka. Pun demikian, ada pengecualian dari larangan memakan harta anak yatim, yaitu bagi para wali yang fakir, maka ia tidak haram makan dari harta anak yatim sesuai dengan upah standar kerja mengurus anak yatim.
Ketiga, berkaitan dengan penyerahan harta anak yatim kepadanya, maka wali dianjurkan untuk menghadirkan saksi saat penyerahan harta agar di kemudian hari terhindar dari persengketaan dengan anak yatim tentang urusan hartanya. Perintah menghadirkan saksi ini hukumnya adalah sunnah sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad Nawawi Banten. (Muhammad Nawawi Al-Bantani, At-Tafsirul Munir li Ma'alimit Tanzil, [Beirut, Darul Fikr: 1425 H/2006 M], juz I, halaman 154-155).
Artinya :"Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas."
Refleksi
1. Pentingnya seorang wali dari anak yatim untuk mengajarkan mereka ilmu mengelola
harta sampai ia mencapai usia baligh;
2. Harta anak yatim diberikan kepada pemiliknya ketika ia sudah mencapai usia baligh dan
cakap dalam urusan mengelola harta tersebut dan urusan agamanya;
3. Harta anak yatim harus digunakan sebaik-baiknya dengan tidak menggunakannya secara