Senja mulai turun di kota kecil itu, menghadirkan warna jingga yang menyapu lembut langit. Stasiun tua di pinggiran kota tampak lengang, kecuali seorang pria tua yang duduk di salah satu bangku kayu yang usang. Pria itu, Pak Ramli, sudah lama dikenal di kalangan warga sekitar sebagai sosok yang setia menunggu. Setiap hari, menjelang sore, Pak Ramli akan datang ke stasiun dengan mengenakan baju terbaiknya, duduk tenang sembari menatap rel kereta yang panjang seakan tak berujung.
Banyak orang penasaran akan alasan di balik kebiasaan anehnya itu. Awalnya, warga sekitar menganggapnya hanya seorang tua yang mulai pikun dan tak punya kegiatan. Namun, seiring waktu, mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda di balik tatapan kosong Pak Ramli. Seperti ada misteri yang bersembunyi dalam diamnya.
"Pak Ramli, kenapa selalu di sini?" tanya Dina, seorang mahasiswa yang sering menumpang kereta sore untuk pulang ke rumah. Suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu. Seperti kebanyakan orang, Dina juga penasaran dengan pria tua yang selalu hadir di stasiun saat senja.
Pak Ramli hanya tersenyum tipis, wajahnya menyiratkan raut penuh kenangan. "Saya menunggu seseorang, Nak. Orang yang dulu pernah berjanji untuk kembali, tapi tak pernah menepatinya."
Dina terdiam, tak ingin mendesak lebih jauh. Namun, saat melihat kesedihan yang terpendam di mata Pak Ramli, ia tak mampu menahan diri untuk bertanya lebih lanjut. "Siapa yang Bapak tunggu, kalau boleh tahu?"
Pak Ramli menghela napas panjang. "Namanya Melati. Dia istri saya." Ada jeda di antara kata-katanya, seakan setiap kata yang diucapkan membawa kembali kenangan yang telah lama tertimbun. "Kami bertemu di sini, di stasiun ini, bertahun-tahun yang lalu."
Sambil memandang jauh ke arah rel kereta, Pak Ramli mulai menceritakan kisahnya. Dulu, stasiun ini bukanlah tempat sunyi seperti sekarang. Tiap sore, kereta datang dan pergi, membawa serta cerita kehidupan yang beragam. Di sinilah ia pertama kali melihat Melati. Gadis berambut panjang, senyum menawan, dan tatapan mata yang selalu meneduhkan.
"Pertemuan kami adalah takdir," lanjut Pak Ramli dengan suara bergetar. "Dia baru saja datang dari kota besar, mengunjungi sanak keluarga. Ketika kereta berhenti, saya melihatnya berdiri di dekat gerbong, melambaikan tangan kepada keluarganya. Saya yang saat itu bekerja sebagai petugas stasiun tak mampu menahan diri untuk menghampirinya dan memulai percakapan."
Waktu berjalan cepat. Dari percakapan singkat di stasiun, mereka akhirnya menjadi akrab, dan tak butuh waktu lama sebelum perasaan cinta tumbuh di antara mereka. Hingga suatu hari, Melati berkata harus kembali ke kota untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjanji akan kembali ke stasiun ini dalam waktu tiga bulan, tepat saat musim semi tiba.
Namun, musim berganti tanpa kehadiran Melati. Pak Ramli terus menunggu, berharap pada suatu sore ia akan melihat sosok istrinya turun dari kereta yang berhenti di stasiun. Namun, yang ia temui hanyalah rel-rel kereta yang sunyi, dan angin yang menerpa wajahnya dengan bisikan senyap.
Lambat laun, orang-orang di stasiun mulai mempertanyakan kewarasan Pak Ramli. Sebagian mengatakan Melati tak pernah ada, sebagian lagi mengatakan bahwa Pak Ramli hanyalah seorang pria tua yang tersesat dalam bayang-bayang masa lalu. Namun bagi Pak Ramli, janji adalah janji. Sejak hari itu, ia bersumpah akan menunggu Melati hingga akhir hayatnya.
Dina yang mendengar cerita itu terdiam. Baginya, cinta Pak Ramli yang begitu setia adalah sesuatu yang indah sekaligus tragis. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa seseorang menanti tanpa pernah mengetahui kapan penantiannya akan berakhir.
"Pak, apakah Bapak tidak pernah lelah menunggu?" tanya Dina dengan lembut.
Pak Ramli tersenyum samar. "Tidak ada yang lebih melelahkan daripada menyerah, Nak. Selama saya masih di sini, harapan saya tetap hidup. Meski tak ada kepastian, tapi saya percaya, dia akan kembali. Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok. Tapi saya yakin, waktu itu akan tiba."
Senja kian redup, dan Dina terpaksa pamit. Dalam perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi oleh kisah Pak Ramli. Ia tersentuh oleh ketulusan cinta yang bahkan melampaui batas waktu, namun juga teringat akan makna kehidupan yang terus bergerak. Mungkin, penantian Pak Ramli adalah metafora dari kehidupan banyak orang. Kita semua memiliki sesuatu yang kita tunggu: cinta, kesuksesan, atau mimpi-mimpi yang belum tercapai.
Hari-hari berlalu, dan seperti biasa, Pak Ramli tetap setia menanti di stasiun. Namun pada suatu sore yang kelabu, sosoknya tak terlihat lagi di sana. Bangku kayu di mana ia biasa duduk kosong. Kabar yang beredar di kalangan warga adalah bahwa Pak Ramli telah berpulang dengan tenang di rumahnya, seolah membawa serta penantian panjang yang akhirnya usai.
Dina merasa kehilangan mendalam saat mendengar kabar itu. Namun, ada satu hal yang menyadarkannya: bahwa hidup adalah perjalanan yang harus dilalui dengan penuh keyakinan. Tidak peduli seberapa berat penantian, setiap orang memiliki tujuan yang diperjuangkan.
Sejak kepergian Pak Ramli, setiap kali ia berada di stasiun itu, Dina selalu mengenang pria tua tersebut. Kini ia memahami bahwa penantian tak selalu harus berakhir dengan apa yang diharapkan, tetapi yang terpenting adalah keteguhan hati dalam menjalani setiap momen.
Di bangku yang sama, di stasiun yang sama, kini sering terlihat anak-anak muda duduk sambil berbincang atau orang-orang yang sekadar menunggu kereta. Kehadiran mereka seolah menjadi pengingat akan kisah Pak Ramli, pria yang mengajarkan bahwa penantian adalah bentuk cinta yang paling tulus, meski kadang tak berujung seperti yang diharapkan.
Pak Ramli mungkin telah tiada, namun kenangannya tetap hidup di antara bangku-bangku stasiun. Sebuah penantian yang menginspirasi orang-orang untuk tetap berpegang pada harapan, meskipun hidup tak selalu berakhir seperti yang diinginkan.
Kesimpulan :
Akhir kata, mari kita berani menunggu tanpa kehilangan arah, dan melangkah tanpa melupakan apa yang kita harapkan.
Tamat
Terimakasih
Jangan lupa Like dan Comment
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI