Lambat laun, orang-orang di stasiun mulai mempertanyakan kewarasan Pak Ramli. Sebagian mengatakan Melati tak pernah ada, sebagian lagi mengatakan bahwa Pak Ramli hanyalah seorang pria tua yang tersesat dalam bayang-bayang masa lalu. Namun bagi Pak Ramli, janji adalah janji. Sejak hari itu, ia bersumpah akan menunggu Melati hingga akhir hayatnya.
Dina yang mendengar cerita itu terdiam. Baginya, cinta Pak Ramli yang begitu setia adalah sesuatu yang indah sekaligus tragis. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa seseorang menanti tanpa pernah mengetahui kapan penantiannya akan berakhir.
"Pak, apakah Bapak tidak pernah lelah menunggu?" tanya Dina dengan lembut.
Pak Ramli tersenyum samar. "Tidak ada yang lebih melelahkan daripada menyerah, Nak. Selama saya masih di sini, harapan saya tetap hidup. Meski tak ada kepastian, tapi saya percaya, dia akan kembali. Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok. Tapi saya yakin, waktu itu akan tiba."
Senja kian redup, dan Dina terpaksa pamit. Dalam perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi oleh kisah Pak Ramli. Ia tersentuh oleh ketulusan cinta yang bahkan melampaui batas waktu, namun juga teringat akan makna kehidupan yang terus bergerak. Mungkin, penantian Pak Ramli adalah metafora dari kehidupan banyak orang. Kita semua memiliki sesuatu yang kita tunggu: cinta, kesuksesan, atau mimpi-mimpi yang belum tercapai.
Hari-hari berlalu, dan seperti biasa, Pak Ramli tetap setia menanti di stasiun. Namun pada suatu sore yang kelabu, sosoknya tak terlihat lagi di sana. Bangku kayu di mana ia biasa duduk kosong. Kabar yang beredar di kalangan warga adalah bahwa Pak Ramli telah berpulang dengan tenang di rumahnya, seolah membawa serta penantian panjang yang akhirnya usai.
Dina merasa kehilangan mendalam saat mendengar kabar itu. Namun, ada satu hal yang menyadarkannya: bahwa hidup adalah perjalanan yang harus dilalui dengan penuh keyakinan. Tidak peduli seberapa berat penantian, setiap orang memiliki tujuan yang diperjuangkan.
Sejak kepergian Pak Ramli, setiap kali ia berada di stasiun itu, Dina selalu mengenang pria tua tersebut. Kini ia memahami bahwa penantian tak selalu harus berakhir dengan apa yang diharapkan, tetapi yang terpenting adalah keteguhan hati dalam menjalani setiap momen.
Di bangku yang sama, di stasiun yang sama, kini sering terlihat anak-anak muda duduk sambil berbincang atau orang-orang yang sekadar menunggu kereta. Kehadiran mereka seolah menjadi pengingat akan kisah Pak Ramli, pria yang mengajarkan bahwa penantian adalah bentuk cinta yang paling tulus, meski kadang tak berujung seperti yang diharapkan.
Pak Ramli mungkin telah tiada, namun kenangannya tetap hidup di antara bangku-bangku stasiun. Sebuah penantian yang menginspirasi orang-orang untuk tetap berpegang pada harapan, meskipun hidup tak selalu berakhir seperti yang diinginkan.
Kesimpulan :