Kata-kata itu begitu menusuk. Rahmat tahu betul bagaimana rasa benci dan dendam bisa menghancurkan seseorang. Ia pernah menangani kasus di mana dua keluarga berseteru selama puluhan tahun hanya karena sebuah salah paham yang berlarut-larut. Ia juga melihat bagaimana rasa dendam yang terus dipupuk bisa membuat seseorang lupa akan kebahagiaan sederhana.
Surat ini, meskipun ditulis oleh orang yang tak dikenal, seolah mengingatkan Bapak Rahmat untuk tidak sekadar melihat hidup dari perspektif hukum dan aturan, tetapi juga dari sisi kemanusiaan. Bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan menang atau kalah, tetapi dengan memaafkan dan melepaskan.
"Aku pergi bukan karena aku ingin. Ada keadaan yang tak bisa kuelakkan, sesuatu yang lebih besar dari kekuatanku sebagai manusia. Hanya dengan menerima semua ini, aku merasa bebas. Dan aku harap, siapapun yang membaca surat ini, bisa merasakan kebebasan yang sama. Kebebasan untuk memaafkan, kebebasan untuk melepaskan, dan kebebasan untuk hidup dengan damai."
Bapak Rahmat menghela napas panjang. Ia teringat akan ayahnya yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Hubungan mereka tidak pernah mulus, bahkan hingga saat-saat terakhir. Ada rasa kecewa, marah, dan luka yang belum sepenuhnya ia sembuhkan. Surat ini seolah menjadi cermin bagi dirinya, mengingatkan bahwa hidup tidak selamanya harus berakhir dengan rasa sesal atau kebencian.
Sejenak ia menutup mata, membiarkan pikirannya melayang pada kenangan-kenangan lama. Surat ini, dengan kata-kata sederhananya, telah menyentuh bagian terdalam dari dirinya yang selama ini ia abaikan. Bagian yang penuh luka dan kesedihan, namun juga bagian yang ia tahu perlu ia maafkan.
Dengan tangan yang gemetar, ia menaruh surat itu kembali ke dalam amplopnya. Ia tahu, ia tak akan pernah tahu siapa pengirimnya. Namun, satu hal yang pasti, surat ini telah membawa perubahan besar dalam cara pandangnya terhadap hidup.
Surat itu tetap ia simpan di dalam laci mejanya, sebagai pengingat bahwa hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam kebencian dan dendam. Setiap kali ia merasa amarah mulai menyelimuti, ia membuka surat itu, membacanya sekali lagi, dan mengingat bahwa memaafkan adalah salah satu bentuk kebebasan sejati.
---
Kepada siapapun yang membaca kisah ini, mari kita belajar untuk melepaskan. Hidup ini penuh dengan kesalahan dan kekhilafan, baik dari diri sendiri maupun orang lain. Namun, dengan belajar memaafkan, kita bisa menjalani hidup yang lebih damai dan penuh makna.
"Maafkan, bukan karena mereka pantas mendapatkannya, tetapi karena hati yang bebas adalah anugerah yang tiada duanya."
Mari kita berbuat baik dan melampaui rasa sakit itu.